"... stop menyebarluaskan berita buruk ini; dan bahkan kita tutup aib perbuatan buruk ini." -MUI Kota Bandung
Kasus rudapaksa 12 orang santriwati Pesantren Manarul Huda (MH) Bandung oleh HW, guru mereka sendiri, hingga hamil dan membuahkan delapan orang anak, Â kini tersebar luas lewat jaringan jagad maya.Â
Khalayak menilai, kasus "pagar makan tanaman" sejak 2016 itu terlalu mengerikan. Di luar batas kemanusiaan. Sehingga tak bisa lagi diterima akal sehat dan hati nurani.
Di tengah merebaknya kasus amoral itu ke ruang publik, MUI Kota Bandung merilis surat berisi tujuh butir pernyataan sikap resmi.[1]
Lima pernyataan pertama adalah (1) mengutuk peristiwa itu; (2) pelaku bukan bagian dari lembaga MUI dan lembaga keagamaan lainnya; (3) menyerahkan penanganan kasus itu kepada lembaga hukum; (4) tidak ada advokasi/pendampingan untuk kasus itu; (5) jaga ketulusan dan kemurnian lembaga pendidikan agar tak terulang hal serupa.
Dua yang terakhir adalah (6) demi masa depan korban, stop penyebarluasan berita buruk itu dan tutupi aibnya, dan (7) diduga perbuatan bejat itu terinspirasi oleh antara lain tayangan media sosial.
Sebagai lembaga sosial keagamaan Islam, tentu ketujuh butir pernyataan MUI Kota Bandung itu pasti sudah didasarkan pada nilai-nilai agama Islam. Saya tidak pada pada posisi untuk mempertanyakan benar-salahnya hal itu. Disamping juga, menurut saya, tidak perlu juga dipertanyakan.
Saya hanya ingin mengulik logika substansi pernyataan MUI itu dalam kapasitas sebagai seorang Warga Negara Indonesia. Soalnya pernyataan itu telah menjadi konsumsi publik, tanpa memandang identitas agama pengaksesnya.
MUI "Cuci Tangan"?
Lima pernyataan pertama MUI Kabupaten Bandung itu terkesan "cuci tangan." Tidak mau ikut terpercik kotor karena kasus rudapaksa di pesantren itu.
MUI langsung mengutuk keras peristiwa itu, bukan pelakunya. Ini terkesan janggal. Perbuatan HW sudah jelas-jelas terkutuk dan, karena itu, HW dengan sendirinya juga sudah terkutuk oleh perbuatannya. Jadi, untuk apa lagi mengutuk yang sudah terkutuk.Â