***
Sebenarnya sudah muncul keprihatinan di kalangan orang Batak sendiri. Kalau bahasa Batak namarihit-rihit itu dibiarkan, tidak dikoreksi, lama-lama bahasa Batak asli akan punah. Seiring meninggalnya para tetua penutur asli. Â
Sekarang ada kecenderungan anak Batak kota menggunakan bahasa Indonesia bercampur kosa kata Batak. Bukan sebaliknya. Semisal umpatan ini: "Batungkik pula kau. Kutumbuk nanti moncong kau itu. Palak kali awak kau bikin." (Arti kata: tungkik, congek, berulah; tumbuk, tinju; palak, naik darah).
Tahun 1980-an ada satu lagu Batak, gubahan penyanyi Anoy Simanjuntak, menggunakan bahasa Batak gado-gado. Campur bahasa Batak, Indonesia dan Inggris. Terkesan lucu, tapi lagu itu sejatinya sindiran terhadap rusaknya bahasa Batak. Â
Lirik lagu berjudul  Ai Namassam Mana Do (Macam Mana Pula Ini) itu begini:
"Ai ai ai namassam mana do, dibikkin kau nona,
mambuat buat roha ni saya, holan tu you.
Ai ai ai namassam mana do, dibikkin kau nona.
mambuat buat roha ni saya, holan tu you.
Begitu banyak ladies ladies yang kukenal.
Tapi hanya kau yang tarpangan rohakku. Namassam mana do, namassam mana do.
dibikkin kau nona."
Tak perlu fasih bahasa Batak asli untuk memahami arti lirik lagu itu. Cukup dengan mengtahui arti beberapa kosa kata Batak di lagu itu: mambuat, mengambil; roha, hati; holan, hanya; tarpangan rohakku, kena di hatiku. Gampang, kan?
Prihatin itu baik tapi, lebih baik lagi, melakukan sesuatu untuk mencegah kepunahan bahasa Batak.Â
Menjadikan bahasa Batak, dan aksara Batak, sebagai muatan lokal kurikulum SD, SMP, dan SMA adalah satu solusi. Bisalah berharap pada pemerintah daerah Toba, Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan untuk memastikan itu. Khususnya dinas-dinas pendidikan dan kebudayaan di sana.