Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Farming dan Gardening, Milenial Pilih yang Mana?

5 Januari 2022   06:36 Diperbarui: 5 Januari 2022   15:41 2439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Anda menjalankan farming atau gardening?" Itu pertanyaan Michael Goutama, Managing Director/Shareholder River Glory Pte Ltd Singapura, pemegang lisensi sejumlah varietas padi hibrida, dalam satu diskusi riset perbenihan di Bandung tahun 2008.

Saya hadir dalam diskusi itu. Sebagai penyusun proposal diskusi, pengarah, pemilih narasumber, dan perumus hasil diskusi. Waktu itu hadir peneliti/pemulIa dari IPB, Unpad, UGM, UKSW, dan Unibraw (UB) sebagai narasumber.

Pertanyaan itu diajukan Pak Michael menanggapi klaim produktivitas tinggi sejumlah varietas unggul baru padi, inbrida dan hibrida, yang disampaikan para peneliti-pemulia (breeder). 

Produktivitas padi hibrida misalnya diklaim di atas 10 ton GKG/ha. Jika harga GKG Rp 5,000/kg, maka potensi pendapatannya Rp 50,000/ha. Itu dua kali lipat dibanding padi inbrida.

Frasa farming dan gardening itu merujuk skala pertanaman. Farming itu skala luas, tingkat petani. Misalnya hamparan sawah sedesa, kabupaten, sampai provinsi. 

Sedangkan gardening itu skala mikro/sempit, aras demonstration plot (demplot), demonstration farm (demfarm), dan agribisnis skala mikro semisal greenhouse 1,000-2,000 meter persegi.

Aras farming itu merujuk penerapan teknologi pertanian secara ekstensif oleh petani. Sedangkan gardening merujuk penerapan teknologi secara intensif.

Esensi pertanyaan Pak Michael adalah soal skala. Kita bicara tentang skala makro, kepentingan nasional. Semisal swasembada pangan. 

Bukan bicara tentang skala mikro, kepentingan laboratoris, atau kepentingan bisnis individual. Semisal ekonomi keluarga petani kecil, atau bisnis hortikultura skala rumahan atau pekarangan (garden).

***

Saya teringat pada pertanyaan Pak Michael itu saat Kementerian Pertanian (Kementan) tahun-tahun terakhir ini menggalakkan program petani milenial atau petani muda. 

Program itu didasari kecemasan atas lambannya proses suksesi petani di Indonesia. Hasil Survei Pertanian Atas Sensus 2018 (BPS), struktur usia petani Indonesia didominasi usia >55 tahun (37,5%) dan 35-55 tahun (50.9%). Petani usia < 35 tahun atau generasi milenial hanya 11,6%.

Struktur petani itu mengandung sekurangnya dua masalah serius. 

Pertama, ketahanan pangan nasional kita ternyata tergantung pada petani tua (35-55 tahun) dan lansia (>55 tahun). 

Kedua, jika petani kelompok usia >55 tahun pensiun atau meninggal dunia, maka pertanian pangan kita langsung kolaps.

Itu sebabnya Kementan menggalakkan program petani milenial. Tujuannya untuk mendorong milenial masuk ke bidang agribisnis pangan. Targetnya menjamin swasembada dan ketahanan pangan nasional.

Saya ragu tujuan dan target itu bisa tercapai. Karena tiga alasan ini.

Pertama, untuk menarik kaum milenial desa dan kota menjadi petani, Kementan mempromosikan pertanian 4.0, pertanian cerdas (smart farming) terdigitalisasi berbasis internet yang mengarah pada otomatisasi.

Tapi di sisi lain, Kementan tidak sedang menjalankan program revolusi 4.0 di bidang pertanian. Itu artinya Kementan hanya menunjukkan kemungkinan implementasi teknologi 4.0 di bidang pertanian. Lalu berharap kaum milenial akan tertarik melakukannya dengan modal dan kreativitas sendiri.

Kementan memang tidak akan mengambil langkah revolusi pertanian 4.0 secara nasional. Digitalisasi dan otomatisasi pertanian jelas akan menimbulkan pengangguran besar-besaran di pedesaan. 

Massa penganggur desa itu akan membanjiri perkotaan bergabung dengan penganggur perkotaan. Tapi kota juga terdigitalisasi dan terotomatisasi. Akibatnya terbentuk massa proletar di perkotaan. Massa yang akan mendukung revolusi sosial.

Kedua, berdasar kisah sukses para petani milenial yang ditampilkan media massa dan medsos, diketahui mereka umumnya adalah pelaku agribisnis hortikultura. Mereka menjalankan pertanian hortikultura cerdas skala gardening, bukan farming.

Ketahanan pangan kita berbasis food farming, khususnya padi, jagung, dan kedele. Bukan berbasis horticulture gardening. Jadi berharap petani milenial akan menjadi tulang punggung pertanian pangan tampaknya kurang realistis.

Ketiga, terdapat kecenderungan milenial memilih berbisnis di sektor hilir pertanian, khususnya pengolahan, distribusi, dan pemasaran hasil pertanian. Alasannya risiko bisnis lebih rendah di hilir. Teknologi 4.0 juga lebih gampang diterapkan di sektor itu.

Milenial enggan masuk ke sektor tengah, produksi lapangan (on-farm) yang mengandung risiko tinggi. Seperti risiko gagal panen dan risiko harga produk (sarana produksi mahal, hasil tani murah). Hanya petani tua (baby boomers dan gen X) yang sudah terbukti tangguh menghadapinya.

***

Jadi kaum milenial itu, khususnya milenial kota dan milenial desa berorientasi kota, lebih bisa diharapkan masuk di sektor horticulture gardening dan pemasaran hasil berbasis teknologi 4.0. Bukan ke sektor produksi pangan pokok (food farming).

Saya pikir Kementan perlu mengubah fokus dari penumbuhan petani milenial menjadi percepatan suksesi petani pangan. 

Fokus pada milenial bisa menyesatkan karena dua alasan. 

Pertama, selain generasi milenial secara bersamaan tumbuh juga gen Z yang merupakan masa depan pertanian. Gen Z juga harus ditarik ke pertanian. 

Kedua, orientasi bisnis kaum milenial itu bukan pertanian pangan di lapangan (food farming), tapi hortikultura skala gardening dan pemasaran berbasus internet.

Program penumbuhan petani milenial versi Kementan itu beda dengan program suksesi petani. Penumbuhan petani milenial terfokus pada pendampingan dan fasilitasi kaum milenial. 

Sedangkan suksesi petani terfokus pada regenerasi petani pangan (food farming) di aras keluarga. Pewarisan profesi dari orangtua kepada anak. 

Itu sebuah tantangan besar dan berat. Mengingat kecenderungan petani mendorong anak-anaknya keluar dari sektor pertanian untuk masuk ke sektor industri dan jasa, entah itu ekonomi konvensional atau ekonomi kreatif. 

Secara simultan, organisasi petani/pertanian di aras komunitas tani juga mesti ditransformasi dari "grup sosial" (kelompok tani) menjadi "organisasi sosial" berupa organisasi agribisnis modern atau badan usaha milik petani. 

Dalam organisasi agribisnis itulah generasi tani muda dapat berkiprah dan berkembang sebagai pebisnis. Bukan dalam kelompok tani yang lebih merupakan "ujung tombak pemerintah" di pedesaan. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun