Saya teringat pada pertanyaan Pak Michael itu saat Kementerian Pertanian (Kementan) tahun-tahun terakhir ini menggalakkan program petani milenial atau petani muda.Â
Program itu didasari kecemasan atas lambannya proses suksesi petani di Indonesia. Hasil Survei Pertanian Atas Sensus 2018 (BPS), struktur usia petani Indonesia didominasi usia >55 tahun (37,5%) dan 35-55 tahun (50.9%). Petani usia < 35 tahun atau generasi milenial hanya 11,6%.
Struktur petani itu mengandung sekurangnya dua masalah serius.Â
Pertama, ketahanan pangan nasional kita ternyata tergantung pada petani tua (35-55 tahun) dan lansia (>55 tahun).Â
Kedua, jika petani kelompok usia >55 tahun pensiun atau meninggal dunia, maka pertanian pangan kita langsung kolaps.
Itu sebabnya Kementan menggalakkan program petani milenial. Tujuannya untuk mendorong milenial masuk ke bidang agribisnis pangan. Targetnya menjamin swasembada dan ketahanan pangan nasional.
Saya ragu tujuan dan target itu bisa tercapai. Karena tiga alasan ini.
Pertama, untuk menarik kaum milenial desa dan kota menjadi petani, Kementan mempromosikan pertanian 4.0, pertanian cerdas (smart farming) terdigitalisasi berbasis internet yang mengarah pada otomatisasi.
Tapi di sisi lain, Kementan tidak sedang menjalankan program revolusi 4.0 di bidang pertanian. Itu artinya Kementan hanya menunjukkan kemungkinan implementasi teknologi 4.0 di bidang pertanian. Lalu berharap kaum milenial akan tertarik melakukannya dengan modal dan kreativitas sendiri.
Kementan memang tidak akan mengambil langkah revolusi pertanian 4.0 secara nasional. Digitalisasi dan otomatisasi pertanian jelas akan menimbulkan pengangguran besar-besaran di pedesaan.Â
Massa penganggur desa itu akan membanjiri perkotaan bergabung dengan penganggur perkotaan. Tapi kota juga terdigitalisasi dan terotomatisasi. Akibatnya terbentuk massa proletar di perkotaan. Massa yang akan mendukung revolusi sosial.