Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #081] Pelangi di Mata Bening

16 November 2021   06:17 Diperbarui: 16 November 2021   08:43 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berta berlari ketakutan, menjemba Poltak. Tapi Poltak sudah lebih dulu menghindar, sambil berseru, "Kutipu kau!" Tergelak-gelak, senang, dia lari mendaki bukit.

"Poltak!" Berta mengejar, berteriak, sebal karena tertipu.

Bukit itu landai. Anak-anak Panatapan menamainya Dolok Haramonting. Banyak perdu keramunting tumbuh di situ.  Poltak, Binsar, dan Bistok sering datang ke situ untuk sekadar memetik buahnya.

Berta, terengah, menyusul Poltak. Siap menggebuknya.  

"Nah, ini untukmu.  Sudah matang.  Manis kali ini." Poltak mengangsurkan  segenggam buah ranum keramunting yang baru di petiknya kepada Berta.  

Aksi gebuk batal. Tersenyum, Berta menerima segenggam keramunting. Itu tanda maaf.

"Ih, enak. Manis kalipun."  Berta menikmati sebuah keramunting merah ranum. Lalu sebuah lagi, dan sebuah lagi. Satu per satu sampai segenggam.

Pada sebuah gundukan tanah, di bawah naungan pohon tandiang, pakis raja, Poltak duduk menikmati buah keramunting. Berta merapat duduk di sisi kirinya. Berdua memandang ke timur, ke arah punuk-punuk biru punggung Bukit Barisan.

Di tengah padang sabana itu, Berta dan Poltak hadir sebagai keindahan kecil. Rok terusan merah muda Berta dan kemeja biru muda Poltak, di tengah hamparan hijau padang sabana, di bawah pohon tandiang, dengan latar punggung biru Bukit Barisan di kejauhan, adalah sebuah puisi alamiah. Indah, damai dan romantis.

"Itu, yang paling tinggi, gunung apa, Poltak?" Berta memecah keheningan. Menunjuk ke timur.

"Dolok Simanuk-manuk. Persemayaman Namartua Simanuk-manuk.  Roh pelindung Pantapan."

Berta tertarik. "Kalau kita minta sesuatu kepada Namartua Simanuk-manuk, apakah dikabulkan?"

 "Tidak. Mintalah kepada Tuhan. Maka akan dikabulkan. Begitu kata Guru Gayus, kan?"

Berta terdiam. Sebal. Mengapa Poltak tak menanyakan permintaannya. Atau, mungkinkah Poltak sudah tahu?  Dia hanya ingin minta Poltak membatalkan cita-citanya jadi pastor.

"Hoi!" Suatu teriakan kejut membuat Poltak dan Berta terlonjak berdiri. Kaget setengah mati.

"Bodat kalian!" Poltak memaki Binsar dan Bistok, tukang bikin kaget itu.  Mereka juga baru memindahkan kerbaunya ke bagian barat sabana.

Binsar dan Bistok tergelak-gelak. Puas bikin kaget. Tak hiraulah mereka pada makian Poltak.  

"Bah! Kalian marhalleti di sini, ya?" tanya Binsar, menyangka Poltak dan Berta sedang marhalleti, pacaran.

"Aku hanya menjaga paribanku, Binsar!" Poltak menjelaskan.

"Bah, menjaga dan marhallet, samalah itu," tukas Bistok.

"Bedalah itu. Coba. Bistok menjaga kerbau. Berarti Bistok marhallet  dengan kerbau?"

"Bah! Bodatlah kau, Poltak." Bistok mengumpat.

Tetiba cuaca berubah mendung. Awan hitam menggantung di langit. Guruh mengguntur. Pertanda hujan segera turun. Perilaku Desember.

"Hujan!" Poltak berteriak, sambil menunjuk ke timur.  Dolok Simanuk-manuk tampak bertiraikan curah hujan.

"Lari! Pulang! Ayo Bistok. Poltak, kau gendonglah Berta itu!" teriak Binsar sembari berlari pulang. Bistok ikut lari juga.

"Berta, ayo. Kita pulang."

Empat anak berlarian menghindari kejaran hujan yang merambat dari timur ke barat. Binsar, juara lomba lari seratus meter itu, sudah melesat jauh membelah sawah. Meninggalkan Bistok sepelemparan batu. Sementara Berta dan Poltak terseok jauh di belakang.

Berta berlari dengan kecepatan itik menyusur pematang sawah. Poltak mengawal di belakangnya, memastikan Berta aman dari celaka. 

Rintik hujan mulai turun. "Ayo, Berta. Lebih cepat!" Poltak menyemangati.

"Ah!" Berta menjerit tertahan. Pijakan kaki kanannya meleset ke tepi pematang. Tubuhnya oleng akan tercebur ke lumpur sawah.

"Hati-hati!" Poltak sigap menangkap pinggang Berta dari belakang. 

Selamat. Berta terhindar dari celaka. Dibiarkannya pelukan erat Poltak pada pinggangnya. Ada rasa aman menyusup ke relung hatinya. 

Berta menoleh ke belakang, ke wajah Poltak yang masih memeluk pinggangnya. Senyum manis mengembang di bibirnya. 

Poltak terpana. Dia melihat pendar warna-warni indah di sepasang bola mata bening Berta. Warna-warni kesukaannya. Sepasang pelangi ada di sana.

Itu semua terjadi dalam tiga tarikan nafas saja. "Ayo, lari. Kita berteduh di dangau itu saja." Poltak melepas cepat peluknya dari pinggang Berta. Lalu memandunya ke arah dangau miliknya di tengah sawah.

"Naiklah, boru ni rajaku" Poltak bergurau, menyilahkan paribannya lebih dulu naik ke dangau. Rintik hujan semakin rapat.

Tepat saat keduanya sudah duduk di atas dangau, hujan lebat terbawa angin kencang tumpah dari langit. Dangau bambu beratap ilalang itu kadang bergoyang ditiup angin. Tapicmereka aman di situ.

"Ini tak lama. Angin mengantar hujan dari Simanuk-manuk ke Binanga," ramal Poltak. 

"Macam datu ramal saja kau, Poltak." Berta tertawa geli. Poltak juga.

Tapi Poltak tak sembarang bicara. Itu berdasar pengalaman. Hujan yang disertai tiupan angin kencang, biasanya sangat lebat, tapi tak lama. 

"Dangau ini markasku saat perang pamuro." Poltak membuka cerita kebiasaannya bersama Binsar dan Bistok saat mamuro, menjaga padi dari serangan hama gelatik "Sebelah barat itu dangau Si Binsar. Di utara sana punya Bistok," lanjutnya.

"Perang pamuro?" Berta memicingkan mata.

"Iya. Aku mengusir gerombolan gelatik dari sawahku ke sawah Binsar. Binsar mengusirnya ke sawah Bistok. Bistok mengusir balik ke sini. Begitu terus."

"Ha ha ha. Seru."

"Iya. Tapi kasihanlah burung-burung gelatik itu. Mereka berputar-putar terus di langit. Sampai pusing kepalanya lalu berjatuhan ke sawah. Kami tinggal memunguti untuk digoreng ..."

"Hah! Pembual!" Berta memukul keras lengan Poltak. Gelak-tawa mereka memenuhi dangau.

"Hei. Poltak, lihat. Ada pelangi!" teriak Berta sambil menunjuk ke timur, ke kaki Dolok Simanuk-manuk.

Hujan ternyata telah reda. Tapi masih menyisakan renyai. Sinar matahari yang sudah mulai condong ke barat menembusi butir-butir halus renyai. Lalu warnanya terurai menjadi pelangi di kaki Dolok Simanuk-manuk.

"Ah, cantik kalipun," seru Poltak. Matanya berbinar, takjub. "Ompungku bilang," lanjutnya, "kalau kita meniti pelangi itu, di ujungnya akan bertemu dengan pariban."

"Ujung pelanginya ada di dangau ini," sambar Berta tak terduga. Sambil tertawa geli.

"Hah!" Poltak terkesiap. Tapi kemudian ikut tertawa geli. Sadar dirinya dan Berta marpariban.

Lagi, di mata bening Berta, Poltak melihat pendar pelangi. Warna-warninya lebih cerah dari pelangi di kaki Dolok Simanuk-manuk.

Ada rasa  hangat meresap ke dalam hati Poltak. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Dia tak paham rasa apa itu. Tapi dia paham dirinya kesepian tinggal berdua dengan neneknya. Dia pernah berharap ada seorang adik perempuan selalu di sisinya. Adik untuk berbagi rasa.

"Poltak! Berta! Pulang!"  Ada teriakan dari jauh. Suara yang tak asing lagi bagi Poltak.

Poltak menoleh ke utara. Jauh di sana, di bawah pohon makadamia di kebun belakang rumah, ompung dan nantulangnya berdiri menunggu.

Tapi Poltak enggan pulang. Berta juga. Hujan terlalu cepat reda. (Bersambung)

 

 

 

   

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun