"Media sosial di era IoT ini adalah agama multisekte yang berebut pengikut di dunia maya." -Felix TaniÂ
Media sosial (medsos) daring kini telah menjadi "agama" baru di dunia, termasuk Indonesia. Di dalamnya eksis sejumlah "sekte" antara lain Facebook, Twitter, Instagram, Telegram, Tik Tok, dan Youtube.
Di tiap "sekte" terdapat "pemuka-pemuka agama" yaitu para "selemedsos" (selebriti media sosial). Mereka memiliki ratusan ribu, jutaaan, belasan juta, bahkan puluhan juta "umat". "Umat" yang disebut atau menyebut diri pengikut (followers) atau pelanggan (subscribers).
Konten-konten medsos itu semacam kotbah, atau mungkin ajaran, yang didedahkan secara searah terus-menerus kepada "umat", khalayak pengikut. Kotbah yang dinantikan "umat", sekaligus dapat menggerakkan mereka melakukan sesuatu.
Ada ironi di situ. Di satu sisi "agama" baru itu disebut "media sosial". Tapi di lain sisi perilaku para "pemuka" dan "umat"-nya menunjukkan gejala asosial.
Itu terindikasi dari dua hal berikut ini:
Pertama, kegandrungan para "pemuka" untuk membuat dan menyebarkan konten-konten yang terbilang immoral -- dalam arti tak memperdulikan norma sosial.
Kedua, kegandrungan "umat" atau pengikut untuk menikmati konten-konten yang bersifat immoral itu.Â
Pola "stimulus-respons" antara "pemuka" dan "umat" semacam itu menimbulkan suatu gejala yang saya sebut "kegilaan sosial".
"Kegilaan" yang dapat dirumuskan sebagai sebuah silogisme: jika (konten) immoral maka (menjadi) viral, jika viral maka (banyak) uang, dan jika (banyak) uang maka (besar) kenikmatan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!