Konten pamer perilaku balita oleh sejumlah selemedsos adalah contoh terbaik manipulasi halus. Di situ anak telah dieksploitasi orangtuanya. Tanpa persetujuan dan di luar kesadaran anak itu sendiri.Â
Para "pemuka agama medsos" sangat paham bahwa perilaku balita adalah konten yang berpotensi viral. Karena kelucuannya yang bikin gemas. Juga karena tingginya hasrat kepo pada khalayak.
Lingkaran Immoralitas di Medsos
Viralitas konten-konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi yang immoral itu bersandar pada keterbelahan khalayak. Satunya kelompok "pecinta" (lovers, pengikut), lainnya "pembenci" (haters).Â
Saling hujat antara pecinta dan pembenci, yang diikuti aksi sharing konten, telah mengamplifikasi viralitas konten-konten tersebut. Pada gilirannya, viralitas itu akan menarik semakin banyak uang dari adsense, endorse, dan gift.
Jadi bagi "pemuka" medsos pengunggah konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi nilai lovers dan haters sejatinya sama saja: Uang!Â
"Uang" di sini tak mesti berupa uang langsung. Bisa juga berupa perhatian dan simpati yang berujung pada vote, semisal pada kontestasi seni-budaya dan politik. Jika vote itu mengantar pada kemenangan, maka uang tinggal perkara "buka kran".
Kenikmatan (honey) yang dapat dibeli oleh para "pemuka" medsos dengan uangnya membuat mereka ketagihan produksi konten immoral.
Hal itu kemudian mengukuhkan sebuah lingkaran immoralitas di ranah medsos. Semacam ini: konten immoral -> viral -> uang -> kenikmatan -> (kembali produksi) konten immoral.Â
Itu sebabnya konten-konten immoral tak pernah surut di medsos. Sebaliknya, justru semakin melimpah.
Bisa dikatakan, konten-konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi itu adalah kampanye atau bahkan sosialisasi immoralitas yang sangat efektif.
Suatu saat nanti, jika pemerintah dan khalayak tidak menolak tegas konten-konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi itu, maka immoralitas akan diterima sebagai sebuah kewajaran atau bahkan "moralitas baru" dalam masyarakat kita.