Senin, 21 Agustus 1972. Â Sebuah pagi yang terasa janggal di ruang kelas lima SD Hutabolon. Â Bukan karena perban yang menutup lebam di mata kiri Poltak. Akibat terpaaan ketupat Bangkahulu dari Polmer. Bukan. Â
Terasa janggal karena ketakhadiran Poibe, Polmer, Risma, dan Saur. Anak-anak kampung Portibi. Itu tidak biasa.
"Teng. Teng. Teng. Teng. Teng. Teng. Teng." Terdengar dentang lonceng dari menara gereja HKBP, tempat murid-murid kelas satu, dua, dan tiga belajar.
"Tujuh kali," bisik Poltak pada Jonder. Wajahnya kecut. Itu bilangan dentang lonceng penanda kematian anak kecil. Orang dewasa sembilan kali.
Bergegas, tiba-tiba  Guru Gayus masuk ke dalam kelas. Minta ijin bicara kepada Guru Harbangan. Â
"Anak-anakku," sapa Guru Gayus, tanpa senyum seperti biasanya. Â Suasana kelas hening. "Pagi ini kita semua ke rumah Polmer di Portibi. Kita akan mengantar Polmer ke peristirahatan terakhir. Â Polmer telah pergi. Dia dipanggil Tuhan tadi malam. "
Kesedihan menyergap kelas lima SD Hutabolon. Â Murid-murid perempuan menangis. Murid-murid lelaki diam, mematung. Semua tak hendak percaya Polmer telah tiada.Â
Poltak tertunduk. Sedih tak kepalang. Setelah Binsar dan Bistok, Polmer adalah teman karib untuknya. Â Dengan segala kekurangannya, juga kelebihannya, Polmer adalah sahabat setia untuk Poltak. Â Sahabat yang selalu siap membelanya dari serangan fisik siapa pun. Walau Poltak tak butuh dibela seperti itu.
Kenangan terakhir dari Polmer untuk Poltak. Kamis, 17 Agustus 1972, di Lapangan Pagoda Parapat. Â Bogem kanan Polmer mendarat telak di mata kiri Poltak yang berusaha mencegah perkelahian dengan Gogo. Â Setelah Poltak siuman dari pingsan, Polmer memeluknya erat dengan mata berkaca-kaca. Â Itulah cara dia memohon maaf.
"Anak-anak, pagi ini kelas ditiadakan. Â Kita semua pergi melayat Polmer." Â Guru Harbangan mengajak semua murid kelas lima mengantar Polmer ke tempat peristirahatan terakhir.