Pigai membela diri. Â Menurut dia, pernyataannya itu tidak rasis. Â Jokowi dan Ganjar itu memang orang Jawa Tengah. Itu adalah aksioma. Bukan pernyataan rasis.
Perhatikan. Â Pigai berusaha mempersempit sasaran, atau obyek, ujarannya. Â (Presiden) Jokowi dan (Gubernur Jawa Tengah) Ganjar (Pranowo) saja. Â Mereka berdua memang orang Jawa Tengah. Â
Baiklah. Â Mari periksa logika "Jokowi dan Ganjar orang Jawa Tengah". Â Benarkah begitu? Â
Ganjar, dengan status sosial gubernur, memang tinggal di Semarang. Karena itu predikat kewargaannya melekat pada domisili yaitu "orang Jawa Tengah".
Tapi Jokowi? Â Domisilinya kadang di Jakarta, kadang di Bogor. Â Tapi status sosialnya Presiden RI. Â Karena itu predikat kewargaannya lintas-domisili. Â Dia adalah "orang Indonesia".
Pigai berdalih tidak menarget orang Jawa Tengah, tapi individu Jokowi dan Ganjar. Indikasinya, menurut Pigai, tidak ada tanda baca koma (,) setelah frasa "Jawa Tengah".Â
Ah, Pigai bisa aja main jurus Bahasa Indonesia. Mau cari selamat dari kesalahan berbahasa Indonesia?
Tapi coba periksa logika kalimat  "Jangan percaya orang Jawa Tengah Jokowi dan Ganjar". (Ejaan saya koreksi.) Kalau benar yang disasar adalah individu Jokowi dan Ganjar, maka kalimat yang benar adalah "Jangan percaya (kepada) Jokowi dan Ganjar".  Tidak perlu ada frasa "Jawa Tengah".
Pigai bertahan kalimatnya itu benar dan takrasis. Karena spesifik menunjuk pada individu Jokowi dan Ganjar. Begitukah? Mari analisis kalimat Pigai untuk memeriksa klaimnya.
Kalimat itu menurut hemat saya adalah kalimat majemuk. Â Terdiri dari satu kalimat umum "Jangan percaya orang Jawa Tengah" dan kalimat khusus "Jokowi dan Ganjar orang Jawa Tengah".Â
Terbaca adanya logika deduktif dalam dua kalimat itu. Begini. Premis 1:  Orang Jawa Tengah jangan dipercaya.  Premis 2:  Jokowi dan Ganjar orang Jawa Tengah.  Kesimpulan: Jokowi dan Ganjar jangan dipercaya. Â