Prosedur TWK, dengan cara tersendiri, mestinya tetap akan dilakukan. Sebab Polri pasti tidak menerima seseorang menjadi ASN, jika dia -- sebagaimana diindikasikan TWK KPK -- Â tidak setia pada Pancasila dan UUD 1945 dan tidak patuh kepada pemerintah dan pimpinannya.Â
Sangat mungkin metode TWK Polri berbeda dengan TWK KPK, karena adanya perbedaan sistem, Â fungsi, dan karakter institusi. Misalnya, ASN KPK bertindak sebagai penyidik. Tapi ASN Polri hanya bisa bertindak sebagai administrator dan atau tenaga ahli. Penyidik formal kepolisian harus berstatus polisi, bukan ASN Polri.
Dengan demikian, tak bisa disimpulkan bahwa Presiden Jokowi menganggap TWK KPK tidak bermasalah. Â Sebab KPK menjalankan TWK sesuai dengan fungsi, karakter, sistem, dan kondisi internal KPK sendiri.
Polri pun pasti akan menempuh langkah yang setara. Targetnya agar Polri tidak kesusupan ASN yang tidak setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah RI.
Pengistimewaan Pegawai Eks-KPK?
Rekrutmen eks-pegawai KPK yang tak lukus TWK oleh Polri mungkin akan menjadi preseden buruk dalam birokrasi rekrutmen ASN. Para CPNS yang gagal TWK di berbagai instutusi pemerintahan akan mempertanyakan aspek keadilannya. Â Jika eks-pegawai KPK itu mendapat fasilitas "karpet merah" Â menjadi ASN Polri, mengapa mereka tidak?
Tapi kasus TWK KPK yang berujung pemecatan 56 pegawai yang tak lulus memang tak lagi murni soal birokrasi rekrutmen ASN. Muatan politisnya dominan. Dengan menimpakan kesalahan pada Presiden Jokowi, TWK dan pemecatan 56 pegawai itu dinilai sejumlah pihak sebagai tindakan pelemahan terhadap KPK.
Sebenarnya itu absurd. Seolah 56 pegawai yang tak lulus TWK KPK itu jauh lebih hebat dan penting dari 1,274 pegawai yang lukus. Padahal tidak ada bukti KPK menjadi lemah setelah 56 pegawai itu dinon-aktifkan. Faktanya KPK behasil menangkap tersangka korupsi: 1 orang menteri, 2 orang bupati, dan 1 orang anggota DPR. Â
Karena itu langkah Kapolri harus dipahami sebagai langkah politis juga. Â Tujuannya untuk meredam kegaduhan terkait pemecatan 56 pegawai KPK yang telah melebar ke mana-mana. Bahkan dimanfaatkan oposisi sebagai modal politik untuk menyudutkan Presiden Jokowi.
Langkah Kapolri kini menempatkan 56 pegawai KPK pada posisi dilematis. Antara menerima atau menolak jadi ASN Polri. Jika menolak, maka mereka akan dinilai punya kepentingan pribadi di KPK. Sebab ASN harus siap ditempatkan di instansi mana saja bila diperlukan.
Jika menerima tawaran Kapolri, maka  mereka harus menerima kenyataan degradasi status dan wewenang. Dari penyidik tipikor menjadi administrator atau tenaga ahli tipikor, tanpa wewenang penyidikan. Dari sisi kepentingan mereka, hal itu bisa dimaknai sebagai pemretelan wewenang.
Karena itu secara psikologis, mungkin tak mudah juga bagi 56 eks-pegawai KPK untuk menerima posisi sebagai ASN Polri. Terutama bagi tujuh orang mantan perwira Polri yang memilih mundur dari Polri tahun 2012, saat ribut kasus korupsi Simulator SIM di Polri (kasus "cicak vs buaya").