Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mandar Balige, Ikon yang Dilupakan dalam Wisata Danau Toba

26 September 2021   18:30 Diperbarui: 26 September 2021   18:42 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang perempuan sedang mengoperasikan ATM di pabrik tenun Balige (Foto: medanbisnisdaily.com)

Sebelum penjajah Belanda datang, Balige sudah menjadi sentra industri tenun tradisional gedogan. Balige terkenal sebagai penghasil tenunan ulos Batak terbaik di Toba Holbung (Toba).

Sejarah industri tenun modern Balige dimulai pada paruh pertama 1930-an. Belanda memfasilitasi sejumlah kecil pengusaha lokal untuk merintis industri tenun modern. Antara lain  Baginda Pipin Siahaan, H.O. Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar. Mereka diberi bantuan ATBM dan benang katun berikut pelatihan.[7]

Pada masa kemerdekaan, Presiden Soekarno menerapkan "Politik Benteng" (1950-1957). Tujuannya menumbuhkan pengusaha pribumi. Untuk industri tekstil ada pembagian jatah benang.

Di Balige, selain menguatkan pengusaha terdahulu,  kebijakan itu juga melahirkan banyak pengusaha tenun baru. Salah satunya TD Pardede yang  kemudian mendirikan Pardedetex di Medan. 

Periode Politik Benteng itulah awal masa keemasan Balige sebagai "kota tenun sarung".
Puncaknya terjadi tahun 1970-an sampai paruh pertama 1980-an. Jumlah pabrik tenun sarung waktu itu sekitar 70-80 unit. Sebagian skala besar.

Balige tumbuh menjadi pusat industri tenun terkemuka di Sumatera. Alat tenunnya ditingkatkan dari ATBM menjadi ATM. Tambahan tenaga kerja mengalir dari Humbang dan Barus di selatan. 

Sarung tenun Balige, produk utama, dikirim setiap hari ratusan bahkan ribuan kodi ke empat penjuru mata angin. Ke Simalungun, Deli, Medan, Tanah Karo, sampai Aceh di utara. Ke Asahan di timur. Ke Humbang, Silindung, Sibolga sampai Angkola di Selatan. Ke Samosir dan Dairi di barat.

Waktu itu sarung tenun katun Balige ada di mana-mana dengan aneka penggunaan. Mulai dari kain bedong bayi, ayunan balita, gendongan balita, bawahan harian, tudung kepala, syal penahan udara dingin, sarung sembahyang, dan selimut tidur di malam hari.

Itulah masa kejayaan Balige sebagai kota tenun.  Masa ketika kota itu sukses menyarungi semua orang Batak di Tapanuli dan sekitarnya. Sampai-sampai Balige dijuluki "Majalaya Kedua", merujuk kota sentra industri tenun Indonesia terbesar di Priangan Selatan.

Seorang perempuan sedang mengoperasikan ATM di pabrik tenun Balige (Foto: medanbisnisdaily.com)
Seorang perempuan sedang mengoperasikan ATM di pabrik tenun Balige (Foto: medanbisnisdaily.com)

Jadikan Sarung Pusaka Kota

Tapi kejayaan industri tenun sarung Balige kini tinggal kenangan. Proses kejatuhannya terjadi sejak paruh kedua 1980-an.  Tahun 2018 jumlahnya tinggal 12 unit. Skalanya juga menciut jadi usaha kecil/menengah dan bahkan mikro, skala rumahtangga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun