"Pengusaha Arab sudah sibuk menghitung untung, sementara pengusaha Indonesia masih sibuk cari aman." -Felix TaniÂ
Satu setengah tahun mencomblang pengusaha Arab dan Indonesia untuk kerjasama agribisnis telah bikin kepala saya pening. Karena ada satu perbedaan yang sukar didamaikan, tapi pasti bisa. Â
Perbedaan cara pandang terhadap satu proposal bisnis. Itulah soalnya.
Cara pandang pengusaha Arab: Apakah bisnis ini menguntungkan secara ekonomi? Seberapa besar keuntungannya?Â
Jika bisnis itu memberi keuntungan besar, maka proposal bisnis langsung diterima.
Cara pandang pengusaha Indonesia, kebetulan BUMN: Apakah bisnis ini aman secara hukum? Seberapa besar keamanannya?
Jika bisnis itu memberi keamanan besar, maka proposal bisnis bisa diterima. (Pengusaha Arab sudah menemukan untungnya.)
Beda cara pandang itu bikin proses negosiasi jadi ribet. Pengusaha Arab, karena sudah yakin akan keuntungan bisnis, maunya cepat-cepat mewujudkan kontrak bisnis. Lalu masuk tahap operasional.
Prinsip pengusaha Arab, keuntungan jangan ditunda.
Sementara pengusaha Indobesia, karena harus yakin aman secara hukum, sibuk dulu dengan tetek-bengek legalitas formal. Harus ada surat resmi ini dan itu, notulen rapat ini dan itu, persetujuan pejabat birokrasi ini dan itu, dokumen studi kelayakan ini dan itu, dan lain-lain yang sifatnya legal-formal.
Alhasil pengusaha Indonesia berputar-putar dulu dalam jaring birokrasi. Hanya untuk memastikan rencana bisnis aman secara hukum.Â
Prinsip pengusaha Indonesia, biar lambat asal selamat.
Prinsip itu terkait dengan fakta banyaknya pengusaha BUMN yang tersandung kasus hukum lantaran masalah ketak-lengkapan dokumen legal-formal. Itu indikasi penyimpangan dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance  (GCG). Arahnya bisa masuk ranah perkara  KKN. Penjara ancamannya. Rumit, sungguh ribet!
Sebenarnya paduan pengusaha Arab-Indonesia itu ideal. Untung dan aman! Artinya halal, bukan?
Tak heran jika Presiden Jokowi begitu getolnya memasarkan potensi bisnis Indonesia kepada para pengusaha Arab. Semisal pengusaha Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Di sana banyak duit, di sini banyak sumberdaya.Â
Jika duit dan sumberdaya dikawinkan, hasilnya untung besar. Â Pengusaha Arab dan Indonesia sama suka untung. Namanya bisnis, ya, mesti untunglah. Emangnya pesta kawin anak pejabat? Â
Tapi proses mencapai trade-off untung dan aman itu ternyata tidaklah mudah. Terutama dari pihak pengusaha Indonesia.Terlalu banyak regulasi yang harus dipenuhi dan terlalu panjang birokrasi yang mesti dilalui. Hanya untuk memastikan satu hal: keamanan hukum.
Heran. Padahal Presiden Jokowi sudah rajin memangkas regulasi dan birokrasi. Â Kok masih tetap ribet dan lelet, ya, pengusaha kita.Â
Jangan-jangan itu karena revolusi mental gagal mengubah pola pikir pengusaha Indonesia. Eh, ngomong-ngomong soal revolusi mental yang digagas Jokowi, "Emang bener ada ya."
Ah, sudahlah. Jangan menyalahkan Presiden Jokowi, pengusaha Indonesia, dan pengusaha Arab. Anggap itu semua tantangan bisnis untuk seorang Mak Comblang Bisnis seperti saya.Â
Jadi kalau sampai kerjasama bisnis pengusaha Arab dan pengusaha Indonesia gagal, berarti Mak Comblangnya yang abal-abal. Wah, jujur, saya gak mau dicap abal-abal.
Jadi, betapapun sulit dan memusingkan upaya mewujudkan formula untung-aman dalam kerjasama bisnis  Arab-Indonesia, hanya ada dua kata: Pasti bisa! (eFTe)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI