Aneh tapi nyata. Dalam nada canda, Engkong Felix menasihati Kompasianer Jepe Jepe. "Kalau mau cepat centang biru, tulislah artikel tip dan cara." Diam-diam, rupanya nasihat kenthir itu dijalankan rekan Jepe. Eh, tak lama kemudian, dia mendapat centang biru. Itu untuk pertama kalinya, setelah 10 tahun dia menghijau.
Kini Engkong mengituti saran kenthir bohongan itu. Â Rasanya seperti Nasrudin Hoja yang tergoda ikut berlari mengejar anak-anak ke kampung sebelah. Padahal dia tadi bohong bilang di sana ada kenduri berbagi makanan untuk anak. Tapi demi melihat anak-anak semangat berlari, Nasrudin berpikir, "Jangan-jangan betul ada kenduri di sana." Ogah tak kebagian rejeki, Nasrudin ikut lari ke kampung sebelah.
Begitulah. Tip dan cara, sekalipun bohongan, atas kuasa bumi dan langit, bisa saja berhasil pada orang yang didukung semesta. Tapi, bagi orang lainnya, bisa saja gagal. Dan, memang, ghalibnya gagal. Namanya juga tip dan cara bohongan.
Karena berbohong itu boleh, asalkan diwanti-wanti sebelumnya, maka di sini Engkong ingin berbagi tip dan cara elok merisak Kompasianer (dan Admin Kompasiana). Ini merespon komentar Pak Tjiptadinata. Katanya Engkong punya "kekebalan diplomatik". Sehingga label "pilihan" pada artikel risakannya tak pernah dicopot Admin K. Benarkah?
Sudah pasti Pak Tjip salah. Â Isu "kekebalan diplomatik" itu hoaks. Itu sama kaliber hoaksnya dengan bilang Engkong Felix itu profesor Ilmu Jomlologi. Yang sebenarnya, Engkong setia menerapkan tip dam cara elok setiap kali menulis artikel risakan.
Merisak kok ya elok, priben tha. Â Â
Pertama, hormatilah subyek risakan sebagai sesama manusia. Engkong bilang "subyek", konotasinya manusiawi. Bukan "korban", konotasinya takmanusiawi.  Sebab subyek itu setara tapi korban itu subordinasi.
Karena itu hindarilah argumentum ad hominem dalam artikel risakan. Maksudnya, jangan pernah menyerang pribadinya. Semisal bilang, "Dia tak berpikir, maka dia takada!" Itu plesetan "Cogito ergo sum!" (Descartes).  Kalimat pasarannya adalah "Elo dungu, maka elo gak guna!"
Itu namanya penistaan, merendahkan harkat subyek risakan sebagai manusia. Hal seperti itu takelok. Dilarang keras dalam artikel risakan.
Kedua, dasarkan risakan pada fakta takterbantahkan. Maksudnya, jangan ngarang, karena riskan terpeleset jadi fitnah. Dan fitnah itu, seperti biasa, lebih kejam dari K-Rewards zonk.
Sebagai contoh, Engkong pernah merisak Kompasianer Guido Arisso  Dia sangat  percaya hantu perempuan cantik Kakartana gemar memerkosa perjaka tingting yang kesepian di hutan.  Buktinya, katanya, anulaki korbannya bengkak memar.Â
Perkataan Guido itu adalah fakta yang Engkong gunakan sebagai dasat risakan. Engkong bilang, anulaki bengkak memar itu kan bisa saja karena digigiti semut rangrang, kejepit batu, atau dijepit kepiting. Lagi pula, selepas diperkosa Kakartana, anulaki mestinya kan rebahan lunglai. Â
Ketiga, gunakanlah logika yang kukuh. Maksudnya, jangan menggunakan sesat pikir (logical fallacy) saat merisak. Karena hal itu akan merusak diri sendiri. Membikin perisak menjadi tampak dungu. Argumentum a hominem tadi adalah satu contoh. Lainnya, argumentum ad Hitlerum (absurdum), semisal "Dia berjenggot, maka dia bandot!"
Engkong beri satu contoh logika. Dalam artikel risakan pada Pak Tjip, Engkong berhasil menunjukkan satu kesalahan fatal Pak Tjip dalam hidupnya. Katanya, saat berburu tupai, dia memanjat pohon lalu melompat ke kebun orang untuk mengambil tupai yang tertembak. Sial baginya, celananya tersangkut di pagar bambu runcing yang langsung menancap dalam di pahanya.
Dengan menggunakan teori fisika, Engkong tunjukkan bahwa Pak Tjip sebenarnya terjun bebas dari atas pohon. Bukan melompat. Sebab melompat itu arahnya dari bawah ke atas. Kalau dari atas (pohon) ke bawah, itu namanya terjun. Pantas saja Pak Tjip nyangsang di pagar.
Keempat, gunakan penjelasan ilmiah. Maksudnya, saat menulis artikel risakan, jangan beromong-kosong.  Gunakan penjelasan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Agar risakan tak menjadi dungu.
Sebagai contoh, Engkong pernah merisak Kompasianer Zaldy Chan (semoga dikau walafiat, kawan).  Dia Engkong  sebut "petani loteng yang menista tanaman". Frasa itu untuk merumuskan hobi Uda Zaldy, petani sayuran dalam wadah di loteng rumah dengan metode organik.Â
Beda dengan metode konvensional yang menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi, pertanian organik menggunakan pupuk dan pestisida organik. Pupuk organik misalnya adalah fermentasi nasi basi, limbah sayuran, dan kencing kambing. Nah, itu literally sampah semua. Kalau tanaman dikasih makan sampah, apa namanya itu kalau bukan "penistaan"?
Lihatlah. Untuk bisa tiba pada kesimpulan "petani loteng yang menista tanaman", Engkong harus paham teori-teori budidaya tanaman.
Kelima, gunakanlah bahasa yang santun. Maksudnya, tak perlu menggunakan kosa kata atau frasa  yang vulgar atau pejoratif. Ini soal rasa bahasa sebetulnya. Ketimbang menggunakan frasa "penis dan vagina" misalnya, Engkong lebih suka menggunakan frasa "anulaki dan anunita". Atau terkadang "mortar dan pestel".
Contoh lain, Pak Tjip itu jelas sudah tua dan pasti wajahnya total keriput. Tapi kan takelok ngomong begitu. Lebih elok bilang, "Pak Tjip itu mirip Jacky Chan tua." Sebab waktu muda, di mata cinta Bu Lina, Pak Tjip itu mirip Jacky Chan. Nah, begitu kan terdengar elok, ya.
Mungkin ada yang bertanya, apakah Engkong menerapkan lima tip itu sebagai patokan cara menulis artikel risakan. Ya, pasti diterapkan. Tapi Anda juga perlu ingat pepatah "Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga." Kenapa tupai jatuh? Karena ceroboh? Bukan! Tapi karena gaya gravitasi itu ada dan nyata! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H