"Jangan banyak-banyak! Nanti terlalu berat, tambah pendek pula kau!" ledek Bistok. Entah di mana posisinya.
Anak-anak Panatapan terbiasa mencari ranting kering di hutan pinus untuk keperluan kayu bakar. Â Caranya bisa menggunakan galah pengait atau memanjat pohon untuk mematahkan ranting-ranting kering. Â Anak perempuan pakai galah, anak laki memanjat.
"Oiii! Â Sudah sore! Cukup dulu! Kita pulang!" Â Dumaria berteriak mengingatkan. Â Itu berarti semua anak hurus berkumpul di titik yang sudah ditentukan sebelumnya.
"Sudah kumpul semua? Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Bah! Kurang satu orang! Kita kan berdelapan tadi!" Â Dumaria kebingungan. Â Cemas karena hitungan tak genap delapan.
"Delapan!" Â Poltak berteriak sambil melontarkan buah pinus, tepat jatuh di ubun-ubun Dumaria.
"Bah, jangan kurangajar kau sama namboru, Poltak!" Â tegur Dumaria. Â Tak urung dia terkikik juga karena lupa menghitung dirinya sendiri.
Mereka jalan beriring pulang dari tengah hutan pinus sambil menyunggi ikatan kayu bakar di kepala masing-masing. Â Dumaria berada di posisi paling belakang, untuk memastikan tidak ada anak yang tertinggal di dalam hutan.
"Namboru, aku kencing dulu." Â Poltak minta ijin berhenti kencing sebentar. Â Diturunkannya ikatan kayu bakar dari kepala, lalu disandarkan pada batang pohon pinus di tepi jalan tikus.
"Jangan lama-lama, Poltak. Â Namboru tunggu kau!"
"Olo, namboru!"
Matahari sudah sangat condong ke barat, sekitar pukul empat sore, ketika rombongan anak-anak pencari kayu bakar itu tiba kembali di Panatapan.