Apa perbedaan antara pandemi Covid-19 tahun 2020 dan tahun 2021 di Indonesia. Banyak. Tapi ada satu perbedaan sosiologis yang mencolok.
Pada pertengahan 2020, saat gelombang pertama pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, umumnya kita tidak mengenal langsung para korban Covid-19.
Lalu pada pertengahan 2021, saat gelombang kedua pandemi Covid-19 merebak, umumnya kita mengenal langsung para korban Covid-19.
Apa artinya itu? Sederhana saja: Covid-19 semakin dekat dari diri kita. Dulu dia jauh, ada pada orang-orang yang tak kita kenal. Sekarang dia ada pada orang-orang yang kita kenal: anggota keluarga, tetangga, dan rekan sekelompok sosial.
Bisa dikatakan, hanya dalam tempo satu tahun, Covid-19 telah memangkas jarak sosial dari "enam jenjang" menjadi "satu jenjang" saja. Itu jika kita nerujuk pada teori "enam jenjang keterpisahan" (six degrees of seperation).
Frigyes Karinthy (1929), cerpenis Hungaria pencetus pertama teori itu, mengatakan jarak sosial setiap individu  dan individu lainnya di dunia ini hanya terpisah oleh enam orang. Artinya, dua individu yang tak saling kenal bisa menemukan adanya hubungan antara mereka melalui enam orang lainnya yang saling-kenal. [1]
Teori Karinthy itu kemudian diuji Stanley Milgram (1967), psikolog sosial Universitas Harvard, melalui eksperimen "problem dunia kecil" (Small World Problem). Terbukti, teori Karinthy benar. Â Jarak sosial antar dua individu yang saling-asing adalah enam orang. Â Dunia memang kecil. [2]
Jumlah enam orang, atau enam jenjang (six degrees) itu sifatnya rerata. Faktanya, dalam kasus-kasus individual, bisa saja jaraknya satu orang, atau 12 orang.Â
Satu contoh, jika Anda berteman dengan aktor laga Cecep Arief Rachman, maka jarak sosial Anda dengan Keanu Reeves hanya satu orang. Karena Cecep dan Keanu pernah bekerjasama dalam produksi film John Wick 3.
Dikenakan pada konteks pandemi Covid-19, pada tahun 2020 yang lalu, Covid-19 petlu melewati enam orang yang saling berhungan sebelum tiba pada diri kita. Pada tahun 2020 ini, Covid-19 hanya perlu melalui satu orang untuk tiba pada diri kita. Artinya, Covid-19 sudah ada pada orang-orang terdekat kita.
Hal terakhir ini  menjelaskan mengapa warga satu RT, sekantor, searisan, dan sekeluarga kini bisa terpapas Covid-19 secara bersamaan. Sebab jarak Covid-19 dengan diri kita kini "hanya selangkah" (just one degree).
Jika Covid-19 bisa memangkas jarak sosial dari "enam jenjang" menjadi "satu jenjang" maka, agar terhindar dari paparan Covid-19, kita harus mengembalikan jarak itu ke rentang asalinya, dari satu menjadi rata-rata enam.
Mungkinkah? Sangat mungkin, mengingat manusia dikarunia Tuhan akal-budi untuk menguasai alam dan segala mahluk. Â Covid-19 dengan segala variannya menyebar, atau memperpendek jenjang sosial antarindividu manusia, dengan mekanisme penularan antar orang-orang yang berdekatan via droplet dan udara bermuatan Covid-19. Â
Algoritmanya mengikuti prinsip deret ukur kelipatan 4-5 atau 7-8, tergantung varian virusnya. Artinya, seorang penderita Covid-19 bisa menulari 4-8 orang lainnya. Jika proses tular-menular itu terjadi dalam 30 hari saja tanpa kendali ketat, maka grafik pandemi langsung melejit seperti sekarang.Â
Logika pengendaliannya, jika ingin mengembalikan jarak sosial "satu orang" ke "enam orang", maka kita harus memperlebar jarak sosial dan jarak fisik antar sesama selama pandemi Covid-19. Penyempitan atau pemangkasan jarak oleh Covid-19 kita netralisir dengan pelebatan jarak sosial dan fisik.
Jarak sosial dulu diperlebar, dengan begitu jarak fisik akan mengikut. Jika kita menghindari kerumunan, membatasi pertemuan-pertemuan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dengan sendirinya jarak fisik akan tereduksi.Â
Logikanya, seseorang tidak akan merapatkan jarak fisik tanpa suatu motif sosial tertentu. Bahkan jika Anda sengaja memepet seseorang asing yang menarik hati, sekurangnya ada motif keganjenan, bukan?
Jika jarak sosial dan, karena itu, jarak fisik juga melebar, maka peluang penularan Covid-19 juga akan mengecil. Sehingga, Â setelah jangka waktu tertentu, penambahan kasus baru Covid-19 bisa diperhitungkan sebagai (bilangan) nol.Â
Pada titik kondisi semacam itu, berarti jarak sosial telah kembali ke "enam jenjang". Artinya, jarak Covid-19 sudah menjauh dari diri kita, sehingga peluang tertular mendekati angka nol juga.
Begitulah logika sosial yang mendasari kebijakan jaga jarak sosial dan fisik dalam protokol Covid-19. Kebijakan tinggal di rumah, kerja dari rumah, ibadah di rumah, belanja dari rumah, dan silaturahmi dari rumah secara daring dimaksudkan untuk melebarkan jarak sosial dan fisik itu.
Penutupan sementara restoran, pertokoan, rumah ibadah, dan lain-lain adalah konsekuensi dari upaya pelebaran jarak tersebut. Untuk menghindari terjadinya "efek kupu-kupu" Edward Norton Lorenz (1963) dalam pola revolusioner, dari satu kesalahan kecil menjadi ledakan pandemi dalam tempo singkat. [3]
Ambil contoh resistensi terhadap penutupan tempat ibadah selama PPKM Darurat Jawa-Bali. Â Misalkan ada satu rumah ibadah yang menolak tutup. Â Lalu hadir seorang OTG Covid-19 yang abai di dalamnya. Â Bisa dipastikan dalam beberapa minggu kemudian ledakan penderita Covid-19 sudah terjadi.
Logika serupa bisa menjelaskan merebaknya Covid-19 varian D asal India di Indonesia. Pengabaian kecil di salah satu pintu masuk Indonesia mungkin menyebabkan lolosnya seseorang yang telah terpapar varian D itu ke Indonesia. Hasilnya adalah lonjakan pandemi Covid-19 di Indonesia kini. Â
Jelas sudah, Â kebijakan jaga jarak sosial dan fisik, atau secara menyeluruh langkah PPKM Darurat, Â memiliki landasan sains yang bisa dipertanggungjawabkan. Sedikitnya sudah saya tunjukkan dua teori yang mendasarinya: teori penjenjangan sosial (Karinthy/Milgram) dan teori sayap kupu-kupu (Lorenz).
Implikasinya sederhana. Jika ingin pandemi Covid-19 cepat berlalu dan tak makan terlalu banyak korban, maka perlebarlah jarak sosial dan fisik dengan orang lain khususnya selama PPKM Darurat atau selama pandemi belum surut. Disiplin sosial pribadi, sebagai wujud tanggungjawab sosial, itu kuncinya.
Jika itu bisa dilakukan secara konsisten, maka Covid-19 akan nenjauh dari kita, dari tadinya hanya sejauh satu orang menjadi sejauh enam orang.Â
Ayo, ini soal sains, soal akal sehat, demi keselamatan bersama. Kita pasti bisa.(eFTe)
Rujukan:
[1] Karinthy, Frigyes. Chain-Links, 1929. Translated from Hungarian and annotated by Adam Makkai and Enikö Jankó.
[2] Milgram, Stanley. "The Small World Problem", Psychology Today, 1967, Vol. 2, 60–67.
[3] Lorenz, Edward N. "Deterministic Nonperiodic Flow". Journal of the Atmospheric Sciences, 1963, 20 (2): 130–141.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H