"Binsaaar! Â Libaaas! Â Ini kue ketawaaa ...!" Â Poltak berteriak-teriak sekeras-kerasnya dari belakang garis finish. Â Kue onde ketawa dalam kantong plastik diputar-putarnya di udara. Â "Sikat si pantat montoook!" teriaknya lagi.
Mendengar kata "kue ketawa", Binsar tersengat. Â Mode turbonya seperti terpencet. Â Tubuhnya tiba-tiba melesat secepat kilat ke depan meninggalkan Sirlam dan Tumpak.Â
Binsar berkelebat tanpa sadar melewati garis finis.  Lalu, tanpa terduga, melompat terbang menyambar  kantong plastik berisi kue onde ketawa yang terangkat tinggi di tangan kiri Poltak. Â
Sebagai penggila kue onde ketawa, tak ada hal lain yang lebih penting bagi Binsar. Â Tidak juga garis finish lomba lari seratus meter. Poltak sadar benar kelemahan Binsar itu. Â Tapi dia mengubah kelemahan itu menjadi kekuatan. Â Dipancing dengan kue onde ketawa, tidak ada lawan lari yang tak bisa dikalahkan Binsar.
"Binsar! Binsar! Binsar!" Murid-murid dan guru-guru SD Hutabolon mengelu-elukan Binsar. Â Dia tampil sebagai juara baru, mempecundangi Sirlam, juara tahun lalu yang tahun ini harus puas di posisi ketiga. Â
SD Hutabolon untuk pertama kalinya tampil di podium juara lomba lari 17 Agustusan antar SD sekecamatan Parapat.
"Kau!" tiba-tiba seseorang mendorong keras Poltak pada dadanya. Â Poltak terjajar ke belakang nyaris jatuh telentang. Â
"Kenapa kau!" Â Poltak maju dan mendorong dada orang tadi sampai terjajar. Dia adalah Sirlam. Â Rupanya dia mempersalahkan Poltak atas kekalahannya.
"Apa kau!"  Tiba-tiba saja Polmer  sudah berdiri di depan Poltak menghadapi Sirlam.  Di depan tubuh bongsor Polmer, tubuh Sirlam ibarat tapir di depan badak. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H