"Tungkolon, Gurunami. Â Amangoi, sakit kalilah ini. Â Saitku goyang pula. Â Matilah aku." Â Bukannya menjawab pertanyaan, Polmer malah mengeluhkan sakit giginya. Â Saru geraham kecilnya di rahang kiri bawah tungkolon, berlubang. Â Satu sait, taring, di rahang kanan bawah goyah. Â
"Bah, tungkolon itu karena kau jorok, Polmer. Kurasa, tak pernah gosok gigi kau itu.  Kalau saitmu itu, memang sudah umurmu untuk ganti gigi taring bawah."  Guru Paruhum menjelaskan ikhwal sakit gigi Polmer.
Anak-anak SD Hutabolon memang jarang gosok gigi menggunakan sikat dan pasta. Â Alat dan bahan pembersih gigi buatan kota itu tergolong mewah untuk keluarga mereka. Lazimnya, anak-anak itu menggosok giginya menggunakan daun simaroma-oma, sejenis rumput air atau rawa berdaun jarum.
"Amangoi, sakit kalilah ini, Gurunami," keluh Polmer memelas. Â Samson Hutabolon itu betul-betul tak berdaya dibikin bakteri renik yang menggerogoti gerahamnya. Â Sebenarnya, itu adalah upah anak jorok.
"Gurunami, kurasa aku bisa mengurangi sakit Si Polmer." Â Poltak menawark gan bantuan. Dia tak tega juga melihat kawannya itu menderita.
"Bagaimana, Poltak."
"Aku bisa cabut saitnya yang goyah. Â Aku diajari ompungboruku caranya."
"Betul begitu?" Guru Paruhum ragu. Â "Polmer, maju kau ke depan. Â Kau juga, dokter gigi Poltak." Â Guru Paruhum sekarang yakin pada Poltak.
Polmer duduk di kursi Guru Paruhum. Poltak bersiap melakukan aksi cabut gigi pakai jari.Â
"Buka mulutmu, Polmer!" Â perintah Poltak. Â
Polmer membuka mulutnya lebar-lebar. Giginya kuning berkerak jorok tampak jelas. Gigi taring di rahang kanan bawah tampak sudah oglek. Â Ibarat kata, ditiup saja, itu gigi langsung tumbang.