Sebagai buah dari keseluruhan proses itu, muncullah sebutan "artikel kenthir" dari Kompasianer untuk artikel-artikel yang ditulis oleh FT. Â Itulah jenama artikel FT di Kompasiana.
Menjadi Jenama "Profesor Kenthirisme"
Jenama "Profesor Kenthirisme" adalah keniscayaan dari sebuah proses. Jika FT disebut "Profesor" dan artikel-artikelnya dilabeli "kenthir" atau berwatak "kenthirisme", maka jenama "Profesor Kenthirisme" tak lagi terbendung.
Demikianlah, sekarang di Kompasiana Felix Tani adalah "Profesor Kenthirisme" dan "Profesor Kenthirisme" adalah Felix Tani. Â Kompasianer sungguh tak perduli apakah FT benar-benar seorang Profesor. Juga tak hirau apakah dia benar-benar penganut Kenthirisme. Jenama itu kini dilekatkan dan melekat padanya. Â
Bahkan Kompasianer juga tak mau repot berpikir apakah memang benar ada atau tidak mashab atau paham Kenthirisme dalam dunia kepenulisan. Mereka tahunya FT itu seorang Profesor penganut faham kenthirisme yang menghasilkan artikel-artikel kenthir. Itu saja.
Tapi jenama memang adalah suatu citra publik.  Tak penting benar apakah realitasnya benar atau tidak seperti yang dicitrakan.  Sebab citra itu ada di dalam benak pencitra, bukan pada  orang atau benda yang dicitrai. Â
Karena itu FT sebenarnya tak perduli walau jenama "Profesor Kenthirisme" itu tak sesuai dengan kenyataan. Â Itu adalah jenama untuknya di Kompasiana. Â Digelari Profesor, padahal sejatinya cuma Kompasianer.
Lalu apa pembelajaran yang bisa dipetik dari proses penjenamaan FT yang ganjil ini? Sekurangnya, saya pikir, ada tiga butir pelajaran.Â
Pertama, suatu jenama tidak mesti dihasilkan dari suatu upaya yang dirancang secara sengaja. Bisa juga itu hasil takrerduga yang kemudian dikelola.
Kedua, suatu jenama tak terbentuk seketika tetapi perlu proses panjang. Jika prosesnya instan, maka itu seperti permen karet dilontarkan ke dinding; menempel sebentar, sebelum jatuh selamanya.
Ketiga, pengukuhan suatu jenama personal adalah produk kolaborasi mental melalui proses komunikasi antara persona terjenama dan khalayak penjenama. Tanpa komunikasi, dalam erti kesaling-pahaman, mustahil suatu jenama terbentuk.