Sebenarnya FT sudah menulis  dua artikel untuk mengingatkan sesama Kompasianer bahwa gelar "Profesor" itu bukan gelar beneran.  Sekaligus menegaskan bahwa FT adalah benar seorang petani. Tapi rupanya para Kompasianer lebih memilih tak percaya, atau tak peduli, sehingga tetap menyapa "Profesor Felix."
Jika sebuah sebutan tetap melekat pada seseorang, kendati sudah diingatkan bahwa itu tak benar, maka itu penanda sebuah jenama sudah terbentuk. Demikian pula dengan jenama "Profesor" pada FT. Sekarang, jika Kompasianer membaca nama FT di Kompasiana, maka atribusi yang terbetik di benaknya adalah "Profesor." Itulah jenama Kompasianer.
Terbentuknya Jenama "Kenthirisme"
Benih pembentukan jenama "Kenthirisme" itu muncul dari proses penulisan seri artikel Humor Revolusi Mental di Kompasiana. Seri ini memanf mendompleng seruan "Revolusi mental!" dari Jokowi.Â
Berpijak pada kejadian nyata, seri humor itu mencapai 100 nomor. Nomor pertama, "Humor Revolusi Mental #001: Lancar Ngomong Inggris Berkat Kotak Korek Api', tayang di Kompasiana pada 6 September 2014. Â Lalu nomor terakhir, "Humor Revolusi Mental #100: Matematika Mati di Sawah," tayang pada 26 Agustus 2015. Â Di luar itu masih ada beberapa nomor sempalan "New-Humor Revolusi Mental."
Tanpa disadari, FT rupanya telah menulis humor-humornya dengan semangat "kenthirisme". Maksudnya, berpikir di luar kelaziman. Â Bukan dalam pengertian senget atau sedeng, tapi kreasi-inovatif tak terduga. Â Demikianlah, nomor-nomor "Humor Revolusi Mental" selalu tiba pada simpulan yang tak lazim, di luar dugaan. Â Sehingga pembaca melontarkan umpatan, "Kenthir!"
Dalam proses penulisan artikel-artikel di Kompasiana kemudian, FT terbiasa memadukan humor, fakta atau data, dan teori atau konsep sosiologis. Pendekatan itu melahirkan artikel-artikel yang aneh, tak lazim, sehingga penilaian kenthir kerap terlontar dari pembaca.
Sebagai penjelasan terhadap pendekatan penulisan artikelnya, FT kemudian merujuk pada anarkisme metodologis dari filsuf Paul Feyerabend. Intinya, menulis apa pun dengan cara apa pun boleh, asalkan patuh pada kaidah logika, etika, dan sedapat mungkin estetika.Â
Pada beberapa artikelnya, "Profesor Felix" kemudian menyebut pendekatan penulisan anarkis semacam itu sebagai "Kenthirisme." Suatu proses penulisan yang bertumpu pada intuisi dan serendipitas. Â Kasarannya, sisihkan semua teori, strategi, teknik, dan tip standar penulisan artikel, lalu ikuti saja intuisi. Â Serendipitas, temuan-temuan tak terduga, akan bermunculan dan membentuk tulisan itu.
Karena pendekatan yang "aneh" itu, oleh sejumlah Kompasianer, "Profesor Felix" kemudian dijuluki sebagai "Bapak Kenthirisme." Â Jelas itu adalah sebuah olok-olok perkawanan di Kompasiana. Â
Kadung dijuluki "Bapak Kenthirisme", FT kemudian dengan santai mengadopsi saja atribusi itu sebagai jenama untuk artikel-artikel yang dihasilkan dari proses kreatif yang tak lazim. Â Aroma kenthir itu misalnya tercium pekat pada novel "Poltak" yang kini sudah memasuki Nomor #056. Â