Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #056] Kerrok Bukan Alat Intip Kolor

9 Juni 2021   16:40 Diperbarui: 9 Juni 2021   20:12 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Bagi jiwa anak kecil, batas duka dan suka itu setipis helai rambut dibelah tujuh. Lebih tipis dari membran, sehingga jiwa bisa rembes bolak-balik dalam sekejap.

Sekurangnya, itu berlaku pada Poltak. Dari duka karena kematian kakeknya, jiwanya kini sudah berenang di telaga suka.  

Kemarahan kepada Binsar dan Bistok udah pupus. Beruntung kedua karibnya itu  tempo hari gesit mengelak dan kabur, sehingga kepala mereka luput dari sambaran batang daun nira yang ditebaskan Poltak. Lantaran kematian kakek Poltak mereka jadikan guyonan.

Sebenarnya, kalau Poltak mau, dia waktu itu bisa melampiaskan amuknya mementungi kedua sobatnya itu. Sebab Binsar sudah jatuh berguling-guling di lereng bukit Partalinsiran. Sementara Bistok, si kaki tampah itu, kepayahan berlari turun, selayaknya seekor bebek lari turun gunung. Demi melihat kondisi kedua temannya itu, terbitlah belas kasih Poltak, lalu pupuslah amarahnya.

"Ei, Jonder! Berta! Kenapa ribut!" Guru Marihot membentak.

"Jonder, Gurunami. Kurang ajar dia!" jawab Berta sewot. Wajahnya merah padam.

"Kenapa kau Jonder!" Suara Guru Marohot menggelegar. Jonder tertunduk, pantatnya gosek-gosek di bangku, salah tingkah.

"Tadi Jonder intip kolor Berta pakai kerrok, Gurunami." Tiur menjawab. Berta membenamkan wajahnya di atas meja. Marah, malu.

"Jonder!" Poltak berbisik membentak Jonder, sambil melotot.

Sambil tetap menunduk, Jonder menoleh ke arah Poltak. "Merah," bisiknya. 

"Aku tak tanya warnanya.  Bodat kau!" Poltak mengacungkan tinjunya.

"Jonder! Maju ke depan!" Perintah Guru Marihot pantang dibantah.

 "Berdiri di samping papan tulis!"  

Perintah Guru Marihot berarti hukuman strap berdiri satu jam untuk Jonder. Tidak ada hukuman keluar kelas untuk murid nakal di SD Hutabolon. Murid harus tetap berada di dalam kelas. Haknya mendapat pelajaran tak boleh dirampas.

"Kerrok itu gunanya meraut pinsil. Bukan untuk mengintip yang tak boleh kau lihat. Kelakuanmu itu tak pantas, Jonder. Otakmu harus diobati. Biar tak terulang lagi."

Sambil menasihati Jonder, Guru Marihot mengambil sebatang kapur merah, lalu menggambar kolor warna merah yang ditimpa dengan tanda kali tepat di jidat Jonder.  Maksudnya, "dilarang memikirkan kolor".

"Gurunami ... iii ... ." Mendadak Berta menangis.  Lalu semakin membenamkan wajahnya di atas meja.

"Bah, kenapa pula kau, Berta! Jonder sudah Pak Guru hukum.  Kurang apa lagi?"  Guru Marihot heran, atau tepatnya, bingung. Sementara murid-murid lainnya tergelak-gelak melihat gambar kolor terlarang di jidat Jonder.

Berta tidak menjawab.  Tetap dalam sesenggukannya.  Wajahnya masih terbenam di meja.

Tapi Poltak tanggap dengan situasi.  Dia tahu apa penyebab tangis Berta.  "Tak boleh dibiarkan ini," bisiknya dalam hati.  

Segera Poltak bangkit dari duduknya dan maju mendekati Guru Barita.

"Gurunami." 

"Kenapa, Poltak."

Poltak menjingkat menyasar kuping Guru Marihot. Guru Marihot membungkuk mendekatkan telinga ke mulut Poltak.  Lalu Poltak membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar Guru Marihot seorang.

"Bah, benar begitu?" Guru Marihot memastikan.  Poltak mengangguk lugu. "Bah, matilah kita," sesal Guru Marihot.

Cepat-cepat Guru Marihot mengambil penghapus papan tulis.  Segera dihapusnya gambar kolor merah di jidat Jonder, selayaknya dia menghapus papan tulis.  Jonder terbatuk-batuk menghirup debu kapur tulis.  Tapi Guru Marihot tak ambil peduli.

"Diam kau, Jonder," tegurnya, sambil menggambar lagi kolor baru di jidat Jonder.  Kali ini kolor warna biru dengan tanda kali warna merah. 

Menakjubkan.  Tangis Berta langsung berhenti.  Lalu saling tukar senyum dengan Tiur yang duduk di samping kirinya. Sebelum kemudian menoleh kepada Poltak, dengan sorot  mata berterimakasih.

Jonder mengikuti pelajaran "Berhitung" pagi itu dengan cara berdiri dalam posisi siap di samping papan tulis.  Setiap kali Guru Marihot menghapus papan tulis, debu kapur terbang ke wajahnya, membuatnya terbatuk-batuk.  Itulah ganjaran bagi pengintip kolor murid perempuan.

Hukuman Jonder itu masih terhitung ringan.  Ada yang lebih berat dari itu.  Berdiri di atas satu kaki sambil tangan kiri memegang kuping kanan dan tangan kanan memegang kuping kiri.  Poltak sudah pernah merasakannya lantaran lupa membawa buku catatan pelajaran "Berhitung".  Rasanya, seakan kuping mau copot dari pangkalnya.

"Kenapa pula kau intip-intip kolor anak perempuan."  Poltak menegur Jonder saat jam istirahat di luar kelas.

"Aku cuma ingin intip saja."

"Begitukah?  Itu di jemuran banyak kolor perempuan bergelantungan." Poltak menunjuk ke arah jemuran pakaian di samping rumah Guru Marihot.

"Itu? Bah, payah pula kau.  Aku kan mau intip, bukan mau lihat," kilah Jonder.   "Lagi pula itu bukan kolor Berta," lanjutnya sambil lari menjauh. Dia tak  ingin lagi terkena tendangan Poltak.

Mengintip kolor murid perempuan itu adalah keisengan murid laki-laki.  Hanya sekadar ingin tahu warnanya, untuk kemudian diumumkan kepada teman-temannya.  

Kerrok, peraut pinsil yang di dasarnya terdapat cermin bulat kecil, adalah alat bantu intip yang paling handal. Cukup dengan cara meletaklannya diam-diam di antara dua kaki murid perempuan yang tidak waspada.

"Poltak."  Suara ceria memanggil dari belakang Poltak.  "Ah, Si Berta," bisik Poltak dalam hati, seraya memutar badan seratus delapanpuluh derajat. Beberapa depa di hadapannya, ditemani Tiur, Berta sedang melangkah ke arahnya dengan gula-gula dalam genggaman tangan. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun