Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #053] Kepak Sayap Kupu-Kupu Lorenz

17 Mei 2021   22:18 Diperbarui: 18 Mei 2021   11:03 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seandainya Edward Norton Lorenz, meteorolog kondang Amerika Serikat, itu lahir dan berkarir di Panatapan, Poltak mungkin bisa terhindar dari kecelakaan sepeda untuk kedua kalinya.  Sebab kondisi awal efek kupu-kupu mungkin bisa dideteksi sejak dini, sehingga kecelakaan besar dapat dihindarkan.

"Kepakan seekor burung camar laut dapat mengubah jalannya cuaca untuk selamanya," kata Lorenz tahun 1963.  Lalu, dalam kalimat yang lebih dramatis, "Kepakan sayap seekor kupu-kupu di hutan Amazon Brasil dapat menyulut tornado di Texas Amerika Serikat," katanya tahun 1972. Dia sedang menjelaskan suatu kejadian remeh saat ini, lewat suatu proses yang kompleks dan lama, suatu saat dapat berujung pada peristiwa besar.

Itulah yang terjadi pada Poltak.  Kakeknya melakukan kelalaian kecil, sangat kecil, sewaktu memperbaiki rem belakang sepeda entah berapa musim lalu. Skrup pengikat karet rem kurang ketat sedikit, sangat sedikit.  

Kata  pepatah, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.  Penggunaan rem pada berbagai kondisi jalan dan berat beban telah melonggarkan skrup karet rem sepeda itu, sedikit demi sedikit.

"Babi kau, Poltak!"  Binsar dan Bistok serentak menyumpah sambil mencelat ke arah saling berlawanan, meninggalkan ruang kosong di tempat mereka tadi berdiri.

Poltak, di atas sepedanya, dengan kecepatan babi balap yang mengerikan menabrak tanggul pekarangan dan terbang melewati ruang kosong itu. 

Betul-betul lepas kendali.  Tuas rem sudah dipencet habis hingga mepet pegangan setang.  Tapi sepeda tak berhenti, juga tak melambat.  Rem blong!

"Ompung ...!" Poltak berteriak panik. Tanpa ampun, sepeda ngusruk menabrak tumpukan kayu bakar. Poltak terlontar lalu jatuh tengkurap di atas serakan kayu bakar.

"Amangoi amang!" Poltak mengaduh kesakitan sambil memegangi jidatnya.  Sebuah luka baru, akibat benturan dengan kayu bakar, tercipta lagi di sana.

"Hebat kali kau, Poltak!" sorak Binsar.  "Bisa terbang!" sambung Bistok.  "Burungmulah terbang!" umpat Poltak sambil menahan sakit.

Karena tak diperiksa berkala, efek kupu-kupu telah bekerja senyap pada sepeda kakek Poltak. Akibatnya bebatan luka di jidat  Poltak makin lebar dan tebal. Itulah harga kealpaan.

Tapi pelajaran moral juga untuk Poltak.  Tadinya dia mau beraksi balap, lalu mengerem mendadak di depan hidung Binsar dan Bistok.  Agar kedua temannya itu mati ketakutan. Kan, keren kali itu.  Tapi, itulah, keren dicinta cilaka tiba.

"Kenapa pula kepalamu itu, Poltak?" Di sekolah, keesokan harinya,  Guru Marihot menyidik.

"Luka jatuh naik sepeda, Gurunami."

"Bah!  Bisa luka juga, ya. Padahal kau, kan, keras kepala."  

Tak tertahankan, kelas tiga langsung riuh oleh gelak-tawa para murid. Tepat sekali. Tak ada murid kelas tiga yang lebih keras kepala dibanding Poltak.

"Sudah! Sekarang kita kumpul ke lapangan upacara. Sekolah kita kedatangan tamu. Orang Dayak. Dia bikin pertunjukan makan ular hidup."

"Makan ular hidup, Gurunami?" Poltak minta penegasan. 

"Kau lihat sendirilah nanti, Poltak!"

Semua murid SD Hutabolon berdiri membentuk lingkaran di lapangan upacara. Di lapis luar,  warga dewasa Hutabolon juga ikut berdiri melingkar, siap menonton.

Di tengah lingkaran, di atas meja, berdiri seorang lelaki usia duapuluhan. Dia hanya mengenakan celana pendek dan ikat kepala kain merah. Perawakannya tinggi, tegap. Kulit sawo matang. Tak beda dengan orang Batak umumnya.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudari, dan anak-anak. Perkenalkan Si Borneo, lelaki asli Dayak dari Kalimantan. Dia akan makan ular hidup-hidup. Itu cara makan orang Dayak. Selamat menonton!"

Seorang lelaki paruh baya, tinggi besar, muka persegi,  kumis tebal, kulit agak keling,  bertindak sebagai pembawa acara. Logatnya medok Batak.

Lelaki di atas meja itu menangkap seekor ular dari dalam sebuah kantong kain.  Panjangnya kira-kira semeter. Dia kemudian merentangkan dan mengangkat ular itu dengan kedua tangannya tinggi-tinggi. Seakan-akan sedang berdoa.

Murid-murid perempuan menjerit-jerit ketakutan. Takut ular itu itu lepas dan menyusup ke bawah rok mereka. Ngeri kali kalau itu terjadi.

Dengan satu gigitan cepat, kepala ular itu langsung putus. Sambil menggigit daging leher ular itu, kedua tangannya bekerja dengan cepat menarik lepas kulitnya seperti meloloskan kaos kaki.

Lelaki itu kemudian mencabik daging ular itu dengan giginya, lalu mengunyahnya dengan ekspresi muka liar. Terkesan buas. Lagi, anak-anak perempuan dan ibu-ibu menjerit-jerit. Ngeri campur jijik.

"Cukup!" Lelaki muka persegi itu menghentikan aksi lelaki pemakan ular. "Tepuk tangan!" Para penonton tepuk tangan. 

"Terimakasih! Terimakasih! Terimakasih!" Si Muka Persegi lalu berkeliling mengedarkan kantong sumbangan. Guru-guru dan sejumlah warga Hutabolon menyumbang seturut keikhlasan masing-masing.

Pertunjukan selesai. Penonton bubar. Murid-murid kembali ke dalam ruang kelas masing-masing. Dengan pikiran sendiri-sendiri.

"Orang Dayak itu suku asli pulau Kalimantan." Guru Marihot memberikan penjelasan kepada murid-muridnya. "Mereka petani ladang. Pindah-pindah. Cara taninya tebang hutan, bakar, tanam, lalu tunggu panen."

Poltak tiba-tiba angkat telunjuk, "Tanya, Gurunami."  

"Apa, Poltak."

"Apakah benar orang Dayak bakar-bakaran waktu buka ladang, Gurunami?"

"Benar. Begitu menurut buku yang pernah Pak Guru baca."

"Berarti orang Dayak sudah kenal api, Gurunami. Kalau ada api, mereka bisa bakar daging. Tidak makan daging mentahlah seperti pertunjukan tadi." 

"Bah! Maksudmu, Poltak," Guru Marihot terdiam sejenak, "kedua orang tadi itu penipu?"

"Santabi, Gurunami," Poltak minta maaf, "aku tak tak tahulah soal itu. Tapi aku tak percaya orang tadi suku Dayak." 

Guru Marihot terdiam. Berpikir keras. "Ucapan Poltak Si Keras Kepala ini ada betulnya juga," katanya dalam hati.

"Anak-anak," katanya sejurus kemudian, "Pak Guru setuju dengan pendapat Poltak. Orang Dayak sudah mengenal api. Karena itu mereka tak akan makan daging ular mentah. Orang tadi pasti bukan suku Dayak."

Guru Marihot baru saja menggagalkan satu kepakan sayap kupu-kupu ala Lorenz. Murid-muridnya terbebaskan dari satu kondisi awal negatif: anggapan orang Dayak liar dan buas. (Bersambung) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun