Seorang lelaki paruh baya, tinggi besar, muka persegi, Â kumis tebal, kulit agak keling, Â bertindak sebagai pembawa acara. Logatnya medok Batak.
Lelaki di atas meja itu menangkap seekor ular dari dalam sebuah kantong kain. Â Panjangnya kira-kira semeter. Dia kemudian merentangkan dan mengangkat ular itu dengan kedua tangannya tinggi-tinggi. Seakan-akan sedang berdoa.
Murid-murid perempuan menjerit-jerit ketakutan. Takut ular itu itu lepas dan menyusup ke bawah rok mereka. Ngeri kali kalau itu terjadi.
Dengan satu gigitan cepat, kepala ular itu langsung putus. Sambil menggigit daging leher ular itu, kedua tangannya bekerja dengan cepat menarik lepas kulitnya seperti meloloskan kaos kaki.
Lelaki itu kemudian mencabik daging ular itu dengan giginya, lalu mengunyahnya dengan ekspresi muka liar. Terkesan buas. Lagi, anak-anak perempuan dan ibu-ibu menjerit-jerit. Ngeri campur jijik.
"Cukup!" Lelaki muka persegi itu menghentikan aksi lelaki pemakan ular. "Tepuk tangan!" Para penonton tepuk tangan.Â
"Terimakasih! Terimakasih! Terimakasih!" Si Muka Persegi lalu berkeliling mengedarkan kantong sumbangan. Guru-guru dan sejumlah warga Hutabolon menyumbang seturut keikhlasan masing-masing.
Pertunjukan selesai. Penonton bubar. Murid-murid kembali ke dalam ruang kelas masing-masing. Dengan pikiran sendiri-sendiri.
"Orang Dayak itu suku asli pulau Kalimantan." Guru Marihot memberikan penjelasan kepada murid-muridnya. "Mereka petani ladang. Pindah-pindah. Cara taninya tebang hutan, bakar, tanam, lalu tunggu panen."
Poltak tiba-tiba angkat telunjuk, "Tanya, Gurunami." Â
"Apa, Poltak."