Tapi pelajaran moral juga untuk Poltak. Â Tadinya dia mau beraksi balap, lalu mengerem mendadak di depan hidung Binsar dan Bistok. Â Agar kedua temannya itu mati ketakutan. Kan, keren kali itu. Â Tapi, itulah, keren dicinta cilaka tiba.
"Kenapa pula kepalamu itu, Poltak?" Di sekolah, keesokan harinya, Â Guru Marihot menyidik.
"Luka jatuh naik sepeda, Gurunami."
"Bah! Â Bisa luka juga, ya. Padahal kau, kan, keras kepala." Â
Tak tertahankan, kelas tiga langsung riuh oleh gelak-tawa para murid. Tepat sekali. Tak ada murid kelas tiga yang lebih keras kepala dibanding Poltak.
"Sudah! Sekarang kita kumpul ke lapangan upacara. Sekolah kita kedatangan tamu. Orang Dayak. Dia bikin pertunjukan makan ular hidup."
"Makan ular hidup, Gurunami?" Poltak minta penegasan.Â
"Kau lihat sendirilah nanti, Poltak!"
Semua murid SD Hutabolon berdiri membentuk lingkaran di lapangan upacara. Di lapis luar, Â warga dewasa Hutabolon juga ikut berdiri melingkar, siap menonton.
Di tengah lingkaran, di atas meja, berdiri seorang lelaki usia duapuluhan. Dia hanya mengenakan celana pendek dan ikat kepala kain merah. Perawakannya tinggi, tegap. Kulit sawo matang. Tak beda dengan orang Batak umumnya.
"Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudari, dan anak-anak. Perkenalkan Si Borneo, lelaki asli Dayak dari Kalimantan. Dia akan makan ular hidup-hidup. Itu cara makan orang Dayak. Selamat menonton!"