Pertunjukan ondel-ondel itu kini menjadi jalan cari nafkah untuk kaum miskin Jakarta. Jadi, kalau mau kenal siapa yang miskin di Jakarta, nah, rogoh itu orang yang berkaki-ayam banjir peluh di rongga tubuh ondel-ondel. Gak usah nyari-nyari di kolong jembatan Sudirman-Thamrin.
Ondel-ondel pengamen itu orang miskin cari nafkah di jalan halal. Orang cari nafkah halal kok mau dilarang, sih? Tersangka koruptor aja pernah diangkat menjadi direktur utama sebuah BUMD Jakarta. Â Orang miskin, ya, dientaskan juga, dong, Pak Gubernur.
***
Serupa dengan ondel-ondel, jaran kepang juga seni budaya kerakyatan. Dia hadir ntuk menghibur rakyat kecil. Sekaligus sebagai wahana cari nafkah untuk orang miskin.Â
Pemain jaran kepang miskin? Iyalah! Kalau gak miskin, gak bakalan mau dia makan beling sambil gegulingan di tanah. Kalau kaya, dia mungkin akan milih makan steik dan sabu-sabu, lalu gegulingan di ranjang hotel bintang lima.Â
Tidak jelas juga alasan Laskar FUI Medan membubarkan pertunjukan jaran kepang itu. Kalau dibilang mengganggu keamanan, lha, yang ngundang kan warga. Dibilang melanggar prokes Covid-19, kegiatan kumpul-kumpul lain kok boleh. Mau dibilang haram, kan belum ada fatwa MUI yang mengharamkan jaran kepang.
Kenapa sih gak pada damai-damai saja cari makan? Jadi orang kok doyan banget ribut cari musuh. Kalau mau cari musuh  jangan jaran kepang yang bisanya cuma makan beling. Musuhi itu koruptor yang doyan makan belasting rakyat-banting-tulang (RBT).
Mungkin sama seperti ondel-ondel yang nasibnya tak diperhatikan Pak Gubernur Jakarta, jaran kepang Medan juga tak pernah diperhatikan Pak Walikota. Padahal mereka itu rakyat juga. Spesial pula, karena mereka pelestari seni budaya asli.
Ngomong-ngomong, Pak Walikota Medan ada di mana, ya, saat rakyat miskin berkelahi di bawah? Belum kedengaran suaranya.
***