Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Ondel-Ondel dan Jaran Kepang Dilarang?

8 April 2021   22:21 Diperbarui: 9 April 2021   05:10 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ondel-ondel mengamen (Foto: thejakartapost.com/shutterstock.com/GeorginaCaptures/File)

Penyakit sosial macam apa yang diidap sebagian warga bangsa ini, sehingga membenci kesenian etnik? Siapa yang mengajari kebencian pada budaya etnik, rumah kesenian asli itu? 

Kok, orang pada mau-maunya sih didikte membuang identitas sosial sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan di atas dipicu oleh dua pemberitaan baru-baru ini. Pertama, berita rencana pelarangan ondel-ondel pengamen oleh Pemda DKI Jakarta. [1]  Kedua, berita pembubaran pertunjukan jaran kepang oleh Laskar FUI di Medan. [2]

Markilik, mari kita ulik, apa yang telah terjadi.

***

Diberitakan, ondel-ondel pengamen akan dilarang karena dinilai meresahkan warga. Tidak jelas warga mana yang resah, dan mengapa resah. 

Padahal dari mula, kata budayawan Betawi J.J. Rizal, ondel-ondel memang hadir sebagai pengamen. Dulu untuk menolak bala, lalu diberi jasa oleh orang kampung. Gak ada ondel-ondel, dulu rakyat malah resah.

Ondel-ondel itu seni asli budaya Betawi. Lha, kok sekarang mau dilarang. Harusnya, kan, dibina.

Alokasikanlah dana untuk pembinaan seni ondel-ondel. Itu lebih maslahat ketimbang mengeluarkan uang setriliun rupiah lebih untuk panjar balap F4 yang gak ketahuan juntrungannya.

Memang ondel-ondel pengamen masa kini tampilannya rada berantakan, sih. Ondel-ondelnya kumuh. Pemain kumuh. Musiknya dari tiprikorder. Tidak asli lagi. 

Kalau hal semacam itu yang dinilai mengganggu, ya, dibenahi, dong. Bisanya jangan cuma ngecat tembok, pilar, dan genteng kota Jakarta aja.

Pertunjukan ondel-ondel itu kini menjadi jalan cari nafkah untuk kaum miskin Jakarta. Jadi, kalau mau kenal siapa yang miskin di Jakarta, nah, rogoh itu orang yang berkaki-ayam banjir peluh di rongga tubuh ondel-ondel. Gak usah nyari-nyari di kolong jembatan Sudirman-Thamrin.

Ondel-ondel pengamen itu orang miskin cari nafkah di jalan halal. Orang cari nafkah halal kok mau dilarang, sih? Tersangka koruptor aja pernah diangkat menjadi direktur utama sebuah BUMD Jakarta.  Orang miskin, ya, dientaskan juga, dong, Pak Gubernur.

***

Serupa dengan ondel-ondel, jaran kepang juga seni budaya kerakyatan. Dia hadir ntuk menghibur rakyat kecil. Sekaligus sebagai wahana cari nafkah untuk orang miskin. 

Pemain jaran kepang miskin? Iyalah! Kalau gak miskin, gak bakalan mau dia makan beling sambil gegulingan di tanah. Kalau kaya, dia mungkin akan milih makan steik dan sabu-sabu, lalu gegulingan di ranjang hotel bintang lima. 

Tidak jelas juga alasan Laskar FUI Medan membubarkan pertunjukan jaran kepang itu. Kalau dibilang mengganggu keamanan, lha, yang ngundang kan warga. Dibilang melanggar prokes Covid-19, kegiatan kumpul-kumpul lain kok boleh. Mau dibilang haram, kan belum ada fatwa MUI yang mengharamkan jaran kepang.

Pertunjukan jaran kepang (Foto: MI/Khairullah Mustafa)
Pertunjukan jaran kepang (Foto: MI/Khairullah Mustafa)
Sebenarnya bikin miris juga. Pemain jaran kepang itu relatif miskin. Warga penonton juga relatif miskin. Anggota Laskar FUI itu juga mungkin relatif miskin. Lha, sesama orang relatif miskin kok ribut sih? Pakai main sembur ludah pula itu Laskar FUI. Emangnya yakin dia bebas Covid-19? 

Kenapa sih gak pada damai-damai saja cari makan? Jadi orang kok doyan banget ribut cari musuh. Kalau mau cari musuh  jangan jaran kepang yang bisanya cuma makan beling. Musuhi itu koruptor yang doyan makan belasting rakyat-banting-tulang (RBT).

Mungkin sama seperti ondel-ondel yang nasibnya tak diperhatikan Pak Gubernur Jakarta, jaran kepang Medan juga tak pernah diperhatikan Pak Walikota. Padahal mereka itu rakyat juga. Spesial pula, karena mereka pelestari seni budaya asli.

Ngomong-ngomong, Pak Walikota Medan ada di mana, ya, saat rakyat miskin berkelahi di bawah? Belum kedengaran suaranya.

***

Saatnya Gubernur Jakarta dan Walikota Medan mengangkat harkat kesenian asli, kekayaan budaya lokal.  Janganlah melarang para pelakonnya memanggungkan budaya, atau mengekspresikan diri lewat seni asli.

Berdayakanlah para penjaga seni budaya etnis, penjaga identitas bangsa itu. Mereka harus naik kelas. Ke posisi sosial yang lebih layak.

Jangan lagi ada ondel-ondel pengamen lusuh yang keliling kampung saban hari, dari pagi sampai malam, dengan mengulang-ulang satu lagu yang sama, Ondel-Ondel, Kicir-Kicir atau Sirih Kuning. Sekali-sekali pakai lagu Billy Jean versi Betawi, napeh. 

Juga, jaran kepang jangan cuma ngremus beling melulu. Ngelu, tauk.  Sekali-sekali ngunyah kristal Swarovsky, kan, keren? (efte)

Rujukan:

[1] "Menimbang Solusi Arif Selain Melarang Ondel-Ondel Mengamen," cnnindonesia.com, 25/3/2021.

[2] "Kronologi Anggota Ormas Bubarkan Jaran Kepang & Ludahi Warga," cnnindonesia.com, 8/4/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun