Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Joki Kuliah, Profesi Sesat yang Mendungukan Mahasiswa

8 April 2021   09:30 Diperbarui: 9 April 2021   09:56 3719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari suara.com/pixabay/turmisu

Maaf. Saya harus membuat judul berisi dua kata bernada taksantun, "sesat" dan "(men)dungu(kan)". Artikel ini menyampaikan kritik keras pada dunia pendidikan tinggi era daring (online) kini. Saya tak menemukan padanan kata yang dampak psikisnya lebih jitu dibanding dua kata itu.,

Anak saya, seorang mahasiswa, bercerita tentang teman-temannya yang menggunakan jasa joki dalam proses perkuliahan daring. Caranya gampang. Bayar seorang joki, bisa mahasiswa senior (bisa beda fakultas atau perguruan tinggi), guru les (atau dosen les?), atau joki profesional.

Saat ujian secara daring, joki diminta mengerjakan soal-soal ujian. Begitu juga untuk tugas makalah atau paper mingguan dan akhir semester, joki itulah yang diminta mengerjakan. Mahasiswa tinggal terima jadi.

Ada kalanya mahasiswa itu malah pergi berdugem-ria. Dia menyerahkan segala urusan kewajiban ujian, makalah, dan paper itu kepada joki kuliah. Pada ujungnya, penyusunan urusan skripsi juga diserahkan kepada joki kuliah, atau joki spesialis skripsi.

Sekarang ini tak sulit untuk mendapatkan jasa joki kuliah. Tinggal berselancar di internet. Di situ tersedia ratusan, mungkin ribuan, penyedia jasa joki perkuliahan. Mereka siap setiap waktu untuk membuatkan jawaban soal ujian, menyusun makalah.paper, membuat proposal, sampai pada penyusunan skripsi. Harga jasanya juga sudah dipatok. Tinggal transaksi, beres kewajiban kuliah.

Dalam perkuliaan luring di masa lalu, praktek joki sebenarnya juga sudah ada. Kerap terjadi praktek joki ujian masuk perguruan tinggi. Lalu ada joki skripsi, bahkan ada kios atau lapaknya. Tinggal pesan skripsi dengan topik X, teori Y, dan metode penelitian Z. Mulai proposal dan laporan skripsi dikerjakan joki. Mahasiswa hanya maju saat Sbimbingan kepada dosen dan kemudian ujian skripsi. Setelah itu semua, hebatnya, lulus jadi sarjana.

Jika dalam perkuliah luring yang bersifat tatap-muka saja mahasiswa bisa menggunakan jasa joki, apalagi dalam perkuliahan daring (online) yang mendadak menjadi praktek jamak dalam masa pandemi Covid-19 ini.

Masalahnya sistem perkuliah daring yang dipraktekkan perguruan tinggi Indonesia kini tak dilengkapi dengan instrumen kontrol integritas mahasiswa. Identifikasi plagiasi ada aplikasinya, tapi untuk identifikasi joki, belum ada. Atau, sebenarnya ada, tapi belum diintegrasikan dalam sistem perkuliah daring di Indonesia.

Sebagai contoh, University of the People (UOP), sebuah universitas daring yang berbasis di Pasadena California, sebenarnya bisa menjadi teladan. UOP menggunakan kinerja keaktifan mahasiswa dalam kelas kuliah sebagai dasar penilaian. Jika mahasiswa pasif maka nilainya jelek. 

Sebaliknya, jika mahsiswa aktif maka nilainya bagus. Mekanismenya seperti seseorang memberi pendapat langsung dalam suatu rapat daring. Dengan demikian tidak ada ruang masuk untuk peran joki.

Gejala perjokian dalam perkuliahan jelas berdampak buruk pada mutu lulusan perguruan tinggi. Dengan begitu, ia juga menurunkan mutu perguruan tinggi itu sendiri. Bayangkan, misalnya seorang mahasiswa masuk perguruan tinggi lewat jasa joki ujian masuk perguruan tinggi. Lalu sepanjang kuliah dia menggunakan jasa joki untuk mengerjakan ujian tertulis, makalah mingguan, paper mata kuliah, sampai skripsi. 

Misalkan pula mahasiswa itu, karena kebodohan sistem, lulus menjadi sarjana. Pertanyaannya, apakah dia punya kualitas akademik atau kompetensi sebagai sarjana? Jawabnya: Tidak! Dia hanya seorang lulusan SMA yang berhasil "membeli" ijazah sarjana dalam tempo 4-5 tahun. Lantas sumberdaya manusia macam apakah manusia seperti itu? Harus saya katakan secara jujur, itu adalah sumberdaya manusia dungu. 

Bayangkan pula, dengan memanfaatkan modal sosial negatif KKN, sarjana dungu itu berhasil menduduki suatu jabatan publik. Kira-kira apa hal positif yang bisa dilakukannnya, di samping banyak hal dungu yang pasti dipertontonkannya?

Saya lantas teringat kecemasan Mas Menteri Pendidkan Nasional Nadiem Makarim. Katanya, kalau pembelajaran daring berkepanjangan, nanti anak-anak kita menjadi bodoh. Dia tidak bilang dungu, karena kata itu tak pantas diujarkan seorang Menteri.

Tapi maksudnya sama saja: sistem pembelajaran daring yang kini berjalan memang berpotensi mendungukan siswa/mahasiswa. Selain karena minimnya relasi dan emosi sosial antara pengajar dan pembelajar, ini basis psiko-sosial belajar-mengajar, sistem daring yang ada memang rawan dicurangi olehorang-orang yang energinya dihabiskan untuk mencari "jalan pintas".

Ini sebenarnya tidak khas Indonesia, tapi gejala global. Australia, misalnya, juga mengalami hal serupa dalam kadar masif. Integritas mahasiswa semacam itu mengancam kualitas pendidikan. Karena itu Australia telah menyusun unsang-undang anti-joki perkuliahan, dengan vonis sampai 2 tahun penjara untuk terpidana joki.

Keinginan Mas Menteri Nadiem agar pembelajaran luring (tatap muka) dapat segera dimulai, dengan begitu memang harus didukung. Selain lebih efektif untuk proses pembelajaran, sistem tatap-muka itu sampai batas tertentu juga bisa mereduksi tindakan-tindakan curang siswa/mahasiswa yang bersifat mendungukan.

Secara khusus khusus, sistem luring bisa mengurangi peluang kerja bagi profesi joki yang sesat itu. Saya bilang sesat, bukan haram, karena profesi itu menghasilkan uang dengan cara mendungukan orang lain. 

Gejala perjokian kuliah itu sudah menjadi kekuatan informal yang melekat pada sistem pendidikan tinggi. Ironisnya, dia tidak meningkatkan kualitas pendidikan.

Tapi sebaliknya meruntuhkan dengan cara merusak integritas mahasiswa. Mahasiswa pengguna jasa joki itu pada akhirnya nanti akan lulus menjadi sarjana minus-integritas.

Gagasan Mas Menteri Nadiem tentang kampus merdeka bisa juga mereduksi sistem joki dalam proses perkuliahan. Khusus untuk tugas akhir, karena dalam konsep itu ada sistem magang kerja, maka ketentuan skripsi sebagai tugas akhir yang berlaku umum bisa direvisi. Tugas akhir cukuplah laporan magang yang disetujui oleh pejabat di instansi/lembaga/perusahan/organisasi magang. 

Skripsi hanya diberlakukan untuk mahasiswa yang berminat di jalur sains atau akademik. Untuk kelompok mahasiswa seperti itu, selain laporan magang, mereka juga diwajibkan menyusun skripsi berdasar pengalaman magangnya.

Baiklah jika para penyelenggara pendidikan tinggi menaruh perhatian pada masalah perjokian dalam proses perkuliahan ini. Jika tidak, besar kemungkinan perguruan tinggi kita akan menghasilkan sejumlah sarjana dengan integritas bobrok dan kualifikasi lulusan SMA. Bahasa kasarnya, sarjana dungu.

Bisakah negara bangsa ini tiba pada era Indonesia Emas 2030 dengan dukungan sarjana-sarjana dungu semacam itu? (efte)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun