Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #045] Nenek Tak Bisa Dibohongi

26 Maret 2021   05:10 Diperbarui: 26 Maret 2021   09:08 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari berlalu seiring matahari terbit di timur, terbenam di barat, dan terbit lagi di timur.  Itu buah rutinitas perputaran bumi pada sumbunya. Datang dan perginya siang dan malam selalu bisa ditebak.

Tapi tak begitu dengan hidup Poltak.  Kerap timbul kejadian acak dalam keajegan hari ke hari. Seperti pada hari itu, suatu Senin.

Senin itu Poltak mendadak jadi pendiam ulung  di kelas.  Kalau pun bicara, ujarannya terdengar seperti derit pintu. 

"Beng ... kak, Guru ... nami."  Poltak terdengar seperti mencicit, sambil menunjuk tenggorokannya, saat Guru Barita menyigi perkaranya.   

"Tenggorokanmu bengkak?"  tanya Guru Barita  minta penegasan. Poltak mengangguk.

"Kasihan. Tenggorokan Poltak gembung macam perut katak sombong." Pikir Guru Barita, teringat akan kisah Katak yang Sombong.    

Guru Barita menyentuh dahi Poltak dengan punggung telapak tangan kanannya.

"Tapi kau tidak demam, Poltak," ujarnya heran. Poltak mengangguk. "Karena itu aku tetap masuk sekolah," katanya dalam hati.

"Mungkin Poltak kurang perhatian dari Berta, Gurunami!"  Alogo berseru.  Disambut tawa murid sekelas.

"Sip babami, Alogo!"  bentak Guru Barita, menyuruh Alogo  tutup mulut. "Sinikan buku tulis halusmu!" lanjutnya.

Alogo mengangsurkan buku tulisnya kepada Guru Barita.  

"Apa ini, Alogo!" Suara Guru Barita menggelegar.

"Huruf sambung, Gurunami," jawab Alogo tak yakin.  Mendadak hatinya kisut.  

Hari itu murid-murid kelas dua belajar menulis huruf sambung. Guru Barita sudah menuliskan contoh di papan tulis.  Kalimat peribahasa "Mati semut karena manisan."

"Huruf sambung ompungmu!" sentak Guru Barita. "Ini bukan huruf sambung!  Tapi huruf-huruf kau kasi garis sambung!"  Guru Barita meradang.

Rupanya Alogo tidak menulis kata  dan kalimat dengan huruf-huruf sinambung.  Tapi ditulisnya dulu huruf miring secara terpisah satu persatu.  Baru setelah itu antara satu dan lain huruf dalam tiap suku kata dibubuhkannya garis sambung. 

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, karya Alogo itu huruf sambung juga namanya.   Sekurangnya bisa disebut inovasi baru dalam teknik penulisan huruf sambung.

Anak-anak sekelas menertawakan Alogo.  Kecuali Poltak. Bukan karena dia berempati.  Bukan. Tapi karena bengkak di tenggorokan merintangi ledakan tawanya.

"Kalau aku tak congok, tak beginilah jadinya.  Pasti sudah sembuh."  Poltak menyesali dirinya. 

Rangkaian peristiwa beberapa hari lalu berputar seperti film di kepalanya.

"Kau pasti tarhirim.  Kau ingin makan apa, amang," tanya neneknya, hari Kamis minggu lalu, sore hari.  

Tarhirim, sangat ingin makan sesuatu tapi tak kesampaian. Itu diagnosa neneknya atas gejala bengkak di tenggorokan Poltak.  Alasannya, Poltak tidak demam.  Pembengkakan itu juga tak menimbulkan rasa sakit.  Cuma menyebabkan kesulitan bicara.

Agar sembuh, Poltak harus menyantap makanan yang sangat ingin dinikmatinya. Itu satu-satunya cara.

"Tapai singkong, Ompung," jawab Poltak. Dia sangat ingin makan tapai singkong.  "Kemarin kulihat adik Si Bistok makan tapai.  Aku minta, tak dikasih.  Malah langsung ditelannya semua tapai di tangannya."

"Bah, begitu rupanya. Ya, sudahlah.  Ompung bikinkan tapai."

Demi kesembuhan cucunya, Nenek Poltak langsung membikin tapai singkong besok paginya.  Itu bukan pekerjaan sukar.  Singkong tinggal cabut di kebun belakang rumah. Persediaan ragi tapai masih ada di para-para. Gula pasir juga ada. Daun pisang banyak. Semua bahan dan alat tersedia. Tinggal olah saja.

"Ini matangnya setelah tiga hari.  Baru bisa dibuka hari Minggu.  Jangan kau rogoh-rogoh, ya."  Nenek Poltak mengingatkan.  Dia tahu tabiat tak sabaran cucunya kalau sudah menyangkut makanan.

Nenek Poltak menyimpan singkong kukus yang telah ditaburi ragi  di dalam ampang, keranjang rotan bersudut-empat.  Dialasi dengan daun pisang, lalu ditutupi dengan daun pisang juga.  Lalu ampang berisi bakalan tapai singkong itu dibalut dengan selimut. 

Tapi Poltak tetaplah Poltak yang tak sabaran.  Dia ingin cepat sembuh.  Dia tahu, begitu makan tapai singkong, bengkak di tenggorokannya akan kempis dengan sendirinya. 

Sabtu pagi, saat neneknya memberi makan ayam, diam-diam Poltak merogoh tapai singkong di dalam ampang.  Masih keras, tapi bau tapainya sudah tercium.  Tapai belum jadi. Gagal makan.

Sabtu siang, sepulang sekolah, kembali Poltak merogoh tapai.  Bau wanginya tambah santer. Tapi tapai masih keras, belum jadi.  Gagal lagi makan.

Sabtu senja, lagi, Poltak merogoh ampang.  Wangi tapai makin meruap.  Tapi tapai masih agak keras, belum sepenuhnya jadi. Lagi, Poltak gagal makan tapai.

Minggu siang, sepulang dari gereja, Nenek Poltak berteriak, "Pasti kau sudah rogoh-rogoh tapai ini, ya, Poltak!"

"Tidak, Ompung."  Poltak menyangkal.

"Jangan bohong kau, Poltak!  Ompung tak bisa dibohongi!"

"Tidak, Ompung."  Poltak menyangkal untuk kedua kalinya.

"Tapainya gagal, Poltak!  Kalau tak kau rogoh-rogoh, pasti jadi!"

"Iya, Ompung."  Poltak mengaku.  Tak perlu seperti Simon Petrus, sampai tiga kali menyangkal tak kenal Yesus.

"Tak jadilah kau makan tapai, Poltak.  Tahankan itu tenggorokanmu bengkak.  Tarhirim teruslah kau!" Nenek Poltak merepet marah karena kasihnya.

"Tunggu saja sampai hari Sabtu.  Nanti beli tapai di pekan Tigaraja," timpal Kakek Poltak datar.  Tanpa rasa, karena bukan tenggorokannya yang bengkak.

"Amang oi amang.  Matilah aku.  Seminggu lagi baru sembuh."  Poltak meratapi nasibnya dalam hati. "Coba aku tak rogoh-rogoh itu tapai," sesalnya.

Tak ada murid di kelas dua yang tahu tentang sebab-musabab bengkak di tenggorokan Poltak.  Tak ada, kecuali Togu.  Tapi dia bukan kelas dua.  Dia tetap di kelas satu, tinggal kelas.

Tadi pagi, sebelum senam pagi bersama, Poltak sempat menyerahkan sepasang sepatu spartakus miliknya kepada Togu. Itu janji Poltak tahun lalu. Sepatu itu pengganti hadiah sepatu sejenis yang harusnya diterima Togu dari ibunya andai dia naik kelas. 

"Tarhirim. Tak kesampaian makan tapai," jawab Poltak saat Togu menanyakan ikhwal tonjolan bengkak di tenggorokannya.

"Ooo ..., begitu." Nada suara Togu terdengar sangat prihatin. Sorot matanya iba.

"Poltak! Jangan melamun kau!" Guru Barita berseru mengingatkan.  Poltak tersentak. Kaget.  

"Teng teng teng teng teng." Poltak diselamatkan lonceng penanda bubaran sekolah. 

Murid-murid kelas dua berhamburan keluar ruangan kelas.  Semua tertawa gembira. Kecuali satu orang, Poltak.

"Poltak!" Itu teriakan Togu memanggil. Poltak spontan menoleh ke arah teratak Si Garjung, asal teriakan itu. 

Dari arah teratak, Togu setengah berlari menemuinya. Dia mengenakan sepatu spartakus, memakai topi panci, memegang tutup panci di tangan kiri dan tongkat kayu di tangan kanan. Togu telah menjadi prajurit Spartakus.

"Poltak, ini untukmu."  Togu  menyodorkan sesuatu dalam bungkusan daun pisang. "Kebetulan ibuku berjualan tapai singkong."

Ingin, sangat ingin, Poltak memeluk Togu. Menumpahkan rasa haru, gembira, dan syukur yang campur-aduk di hatinya..  

"Mauliate, Togu." Poltak berteria. Togu sudah balik kanan, berlari seperti rase ke arah rumahnya di belakang sekolah. Prajurit Spartakus dari Hutabolon itu sedang mengejar musuhnya. (Bersambung).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun