Agar sembuh, Poltak harus menyantap makanan yang sangat ingin dinikmatinya. Itu satu-satunya cara.
"Tapai singkong, Ompung," jawab Poltak. Dia sangat ingin makan tapai singkong. Â "Kemarin kulihat adik Si Bistok makan tapai. Â Aku minta, tak dikasih. Â Malah langsung ditelannya semua tapai di tangannya."
"Bah, begitu rupanya. Ya, sudahlah. Â Ompung bikinkan tapai."
Demi kesembuhan cucunya, Nenek Poltak langsung membikin tapai singkong besok paginya. Â Itu bukan pekerjaan sukar. Â Singkong tinggal cabut di kebun belakang rumah. Persediaan ragi tapai masih ada di para-para. Gula pasir juga ada. Daun pisang banyak. Semua bahan dan alat tersedia. Tinggal olah saja.
"Ini matangnya setelah tiga hari. Â Baru bisa dibuka hari Minggu. Â Jangan kau rogoh-rogoh, ya." Â Nenek Poltak mengingatkan. Â Dia tahu tabiat tak sabaran cucunya kalau sudah menyangkut makanan.
Nenek Poltak menyimpan singkong kukus yang telah ditaburi ragi  di dalam ampang, keranjang rotan bersudut-empat.  Dialasi dengan daun pisang, lalu ditutupi dengan daun pisang juga.  Lalu ampang berisi bakalan tapai singkong itu dibalut dengan selimut.Â
Tapi Poltak tetaplah Poltak yang tak sabaran. Â Dia ingin cepat sembuh. Â Dia tahu, begitu makan tapai singkong, bengkak di tenggorokannya akan kempis dengan sendirinya.Â
Sabtu pagi, saat neneknya memberi makan ayam, diam-diam Poltak merogoh tapai singkong di dalam ampang. Â Masih keras, tapi bau tapainya sudah tercium. Â Tapai belum jadi. Gagal makan.
Sabtu siang, sepulang sekolah, kembali Poltak merogoh tapai. Â Bau wanginya tambah santer. Tapi tapai masih keras, belum jadi. Â Gagal lagi makan.
Sabtu senja, lagi, Poltak merogoh ampang. Â Wangi tapai makin meruap. Â Tapi tapai masih agak keras, belum sepenuhnya jadi. Lagi, Poltak gagal makan tapai.
Minggu siang, sepulang dari gereja, Nenek Poltak berteriak, "Pasti kau sudah rogoh-rogoh tapai ini, ya, Poltak!"