"Anakhonhi do na ummarga di ahu. Anakhonhi do hasangapon di ahu. Anakkonhi do hamoraon di ahu." [Anakku itulah yang paling berharga bagiku. Anakku itulah kemuliaan bagiku. Anakku itulah kekayaan bagiku.]Â
-Nahum Situmorang, dalam lagu Anakhonhi Do Hamoraon di Ahu.
Tiga kalimat dalam lagu gubahan Nahum Situmorang, komponis Batak paling terkenal, Â itu menyatakan nilai anak dalam etnis Batak Toba.Â
Anak adalah fungsi linier kekayaan. Semakin banyak jumlah  dan semakin tinggi mutu kemanusiaan anak, semakin besar pula nilai kekayaan.
Ikhwal pentingnya jumlah anak banyak itu bagi orang Batak dipertegas dalam upacara adat perkawinan lewat umpasa, petitih ini:
"Laklak di ginjang pintu, singkoru ginolomgoloman. Â Maranak ma hamu sampulu pitu marboru sampulu onom." Â
Artinya, "Buku kulit kayu di atas jenang pintu, biji jali-jali dalam genggaman. Lahirlah untuk kamu tujuhbelas putra dan enambelas putri."
Jangan ditangkap arti harafiahnya. Â Sebab sulitlah membayangkan satu keluarga punya anak 33 orang. Sadis pula mendoakan seorang istri melahirkan 33 orang anak. Â
Umpama tersebut masih, dan harus, diikuti dengan umpama lain yang memberi penekanan pada mutu kemanusiaan anak. Antara lain sebagai berikut:
"Tangki jala ualang
Galinggang jala garage
Sai tubu ma anak partahi jala ulubalang
Dohot boru par mas jala par eme."
Artinya, "Tangki serta ualang, galinggang serta garage. Lahirlah bagimu putra perencana dan pemimpin, serta putri yang kelimpahan emas dan padi."
Harapannya, anak lelaki jadi pemimpin atau penguasa, karena itu kaya harta juga. Sedangkan anak perempuan jadi kaya, karena usaha dan kerja keras dengan suaminya.Â
Jumlah anak yang banyak, dengan demikian, tidak serta-merta bikin kaya. Â Kualitas anak harus ditingkatkan, sebagai syarat agar bisa sukses dalam kerja dan usaha. Itulah jalan yang benar menuju kekayaan dan kemuliaan bagi orang Batak.
Ada dasarnya pada etika Batak Toba. Etika yang diwujudkan dalam kerja keras demi anak. Saya akan jelaskan secara singkat.
***
Menempatkan anak sebagai harta paling berharga, kemuliaan, dan kekayaan  adalah manifestasi etos kerja orang Batak. Sekali memutuskan punya anak, berapa pun jumlahnya, orangtua harus konsekuen membentuk kualitas sosial unggul pada anaknya. Implikasinya orangtua harus kerja keras demi masa depan anak.
Nahum Situmorang, seorang dari sedikit komponis Batak yang  sangat paham perihidup dan nilai budaya Batak, dengan tepat menggambarkan tanggungjawab dan perjuangan orangtua itu dalam lagu Anakhonhi Do Hamoraon di Ahu.Â
Syair lagu itu selengkapnya, disertai terjemahan, adalah sebagai berikut:
[1] Ai tung so boi pe ahu laho da
hu paredang-edangan.
Tarsongon dongan-donganhi da
na lobi pansarian.
Alai sudena gellenghi da
dang jadi hahurangan.
Anakkhonhi do na ummarga di ahu.
[Walaupun aku tak bisa pergi ke tempat pelesiran. Seperti teman-temanku yang bernafkah lebih. Tapi semua anakku tidak boleh berkekurangan. Anakku itulah yang paling berharga bagiku]
[Ref.] Nang so tarihuthon ahu pe angka dongan
indada pola marsak ahu disi.
Alai anakhonhi da dang jadi hatinggalan
sian dongan mangodang na i.
[Walaupun tak mampu mengikuti teman-teman, tiada susah hatiku. Tapi anakku tak boleh tertinggal dari teman sepantarannya.]
Hugogo pe mansari arian nang bodari
laho pasingkolahon gellenghi.
Na ingkon marsingkola satimbo-timbona
singkap ni na tolap gogokhi.
[Kerja keras aku cari nafkah siang dan malam untuk menyekolahkan anakku. Harus bersekolah setinggi-tingginya sampai sekuat tenagaku]
[2] Marhoi-hoi pe ahu inang da
hu dolok hu toruan.
Mangalului ngolu-ngolu na boi parbodarian.
Asal ma sahat gellenghi da sai sahat hu tujuan.
Anakhonhi do hasangapon di ahu.
[Terengah-engah aku oh ibu ke hulu dan ke hilir. Â Mencari nafkah untuk hidup sehari-hari. Asalkan anak-anakku sampai ke tujuannya. Anakku itulah kemuliaan bagiku.]
[3] Ai tung so boi pe ahu marwol da
marnilon mar jam tangan.
Tarsongon dongan-donganki da
marsedan marberlian.
Alai sudena gellenghi da
dang jadi hahurangan.
Anakhonhi do hamoraon di ahu.
[Walaupun aku tak bisa berpakaian wol, nilon dan jam tangan. Seperti teman-temanku naik sedan pakai berlian. Tapi semua anakku tak boleh berkekurangan. Anakku itulah kekayaan bagiku.]
[Ref.] Nang so tarihuthon ...
{Kembali ke [2]} Marhoi-hoi pe ahu inang da ...
Teks lagu itu tegas memposisikan anak sebagai hal paling berharga, representasi kekayaan, dan basis kemuliaan bagi orangtua. Kepentingan masa depan anak yaitu pendidikan harus diutamakan, lebih dari apapun.Â
Orangtua Batak sejati rela mengorbankan apa pun, termasuk kebutuhan dan kesenangan diri, demi kelangsungan pendidikan anak. Sedapat mungkin anak harus menjadi sarjana. Itu modal baginya untuk meraih kehidupan yang lebih baik dari orangtuanya.
Merupakan cacat sosial bagi orangtua jika punya anak tapi tak dijamin masa depannya. Â Terlebih jika anaknya menjadi sisurang, berperilaku asosial ataupun anti-sosial, maka orangtuanya akan dicela dan dipandang sebelah mata.
***
Etos kerja orang Batak (Toba) terangkum dalam tiga kata ini: Â hamoraon-hagabeon-hasangapon, kekayaan-kesuksesan-kemuliaaan. Â Praksis etos kerja itu dipusatkan pada eksistensi sosial anak. Â Itu sebabnya orang Batak bilang "Anakku itulah harta paling berharga, sumber kemuliaaan, dan kekayaaan bagiku."
Penjelasannya begini. Â Punya sejumlah anak itu merupakan hamoraon, kekayaan sosial tersendiri. Â Anak dipandang sebagai modal sosial.Â
Jika potensi sosial-ekonomi anak-anak  dikembangkan lewat pendidikan, maka mereka akan menjadi orang terpelajar dan berpangkat.  Maksudnya memiliki pekerjaan atau usaha ekonomi bagus. Itu namanya hagabeon,  kesuksesan. Â
Jika semua anak sukses  maka orangtua dan keluarganya akan diparsangap, dimuliakan orang.
Fungsi pendidikan sebagai jalur untuk mencapai hamoraon-hagabeon-hasangapon terutama berkembang setelah Perang Batak (1878-1907). Seusai perang, pemerintah kolonial dan juga zendeling Jerman (mulai berkarya sejak 1864) membangun sekolah. Lulusannya direkrut sebagai pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga bikinan zending.
Ketika jalan trans-Sumatera membelah tanah Batau awal 1920-an, akses ke Sumatera Timur terbuka lebar. Â Itu artinya kesempatan mendapat pekerjaan sebagai pegawai pemerintah, perusahaan perkebunan, pendidik, dan lain-lain juga semakin terbuka. Â Syaratnya izasah pendidikan.
Itu sebabnya orang Batak sangat menghargai tinggi pendidikan bagi anak. Â Itulah jalan utama untuk mencapai hamajuon, kemajuan. Sebab orangtua Batak umumnya tidak mengharapkan anak-anaknya menjadi petani seperti mereka. Â Anak-anak harus menjadi pegawai, pejabat, orang berpangkat. Untuk itu, anak harus disekolahkan setinggi-tingginya. Â Apapun bayarannya, sepanjang tak melanggar norma sosial, akan ditempuh orangtua.
Bagi kebanyakan orangtua dalam masyarakat Batak, proses menyekolahkan anak, apalagi sampai tingkat sarjana, adalah sebuah askese. Â Praksis etos kerja hamoraon-hagabeon-hasangapon di jalan sukar, penuh derita, dan penyangkalan diri.
Anakhonhi do hamoraon di ahu bukanlah sekadar judul atau syair lagu. Â Itu adalah inti dari praksis etos kerja orang Batak. Anak adalah masa depan dan masa depan harus lebih baik dari masa lalu.(*)
*Catatan: Â Jika ingin mendengarkan lagu Anakhonhi do Hamoraon di Ahu, silahkan dengarkan atau tonton versi Gordon Tobing dan Victor Hutabarat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H