Merupakan cacat sosial bagi orangtua jika punya anak tapi tak dijamin masa depannya. Â Terlebih jika anaknya menjadi sisurang, berperilaku asosial ataupun anti-sosial, maka orangtuanya akan dicela dan dipandang sebelah mata.
***
Etos kerja orang Batak (Toba) terangkum dalam tiga kata ini: Â hamoraon-hagabeon-hasangapon, kekayaan-kesuksesan-kemuliaaan. Â Praksis etos kerja itu dipusatkan pada eksistensi sosial anak. Â Itu sebabnya orang Batak bilang "Anakku itulah harta paling berharga, sumber kemuliaaan, dan kekayaaan bagiku."
Penjelasannya begini. Â Punya sejumlah anak itu merupakan hamoraon, kekayaan sosial tersendiri. Â Anak dipandang sebagai modal sosial.Â
Jika potensi sosial-ekonomi anak-anak  dikembangkan lewat pendidikan, maka mereka akan menjadi orang terpelajar dan berpangkat.  Maksudnya memiliki pekerjaan atau usaha ekonomi bagus. Itu namanya hagabeon,  kesuksesan. Â
Jika semua anak sukses  maka orangtua dan keluarganya akan diparsangap, dimuliakan orang.
Fungsi pendidikan sebagai jalur untuk mencapai hamoraon-hagabeon-hasangapon terutama berkembang setelah Perang Batak (1878-1907). Seusai perang, pemerintah kolonial dan juga zendeling Jerman (mulai berkarya sejak 1864) membangun sekolah. Lulusannya direkrut sebagai pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga bikinan zending.
Ketika jalan trans-Sumatera membelah tanah Batau awal 1920-an, akses ke Sumatera Timur terbuka lebar. Â Itu artinya kesempatan mendapat pekerjaan sebagai pegawai pemerintah, perusahaan perkebunan, pendidik, dan lain-lain juga semakin terbuka. Â Syaratnya izasah pendidikan.
Itu sebabnya orang Batak sangat menghargai tinggi pendidikan bagi anak. Â Itulah jalan utama untuk mencapai hamajuon, kemajuan. Sebab orangtua Batak umumnya tidak mengharapkan anak-anaknya menjadi petani seperti mereka. Â Anak-anak harus menjadi pegawai, pejabat, orang berpangkat. Untuk itu, anak harus disekolahkan setinggi-tingginya. Â Apapun bayarannya, sepanjang tak melanggar norma sosial, akan ditempuh orangtua.
Bagi kebanyakan orangtua dalam masyarakat Batak, proses menyekolahkan anak, apalagi sampai tingkat sarjana, adalah sebuah askese. Â Praksis etos kerja hamoraon-hagabeon-hasangapon di jalan sukar, penuh derita, dan penyangkalan diri.
Anakhonhi do hamoraon di ahu bukanlah sekadar judul atau syair lagu. Â Itu adalah inti dari praksis etos kerja orang Batak. Anak adalah masa depan dan masa depan harus lebih baik dari masa lalu.(*)