Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Harus Benci Produk Asing?

6 Maret 2021   09:25 Diperbarui: 6 Maret 2021   13:26 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kemarin saya sampaikan untuk cinta produk Indonesia. Untuk bangga terhadap produk Indonesia. Boleh saja kita ngomong tidak suka pada produk asing. Masa kita ga boleh ga suka? Saya ngomong benci produk asing, gitu aja ramai." [1]

Itu ujaran Presiden Jokowi  dalam Pembukaan Rakernas  XVII HIPMI Tahun 2021 di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat minggu lalu ( 5/3/2021). Ujaran itu menegaskan pernyataannya sehari sebelumnya (4/3/2021) di depan peserta Rapat Kerja Kementerian Perdagangan.

"Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan. Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri. Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri." [2]

Ujaran Presiden Jokowi itu langsung bagai bensin isu disambar api kontroversi.  Polemik langsung merebak di ruang publik, media massa dan media sosial.  Oposisi langsung menyalahkan "isi kepala presiden."  Sementara unsur rezim penguasa -- dan DPR juga -- membela "pikiran presiden."

Saya tak hendak masuk pada kontroversi itu dengan membela satu kubu dan menekan kubu lain.  Saya hanya mau fokus pada pertanyaan "mengapa harus benci produk asing."  

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya harus meletakkan ujaran presiden pada konteksnya. Mencabut ujaran itu dari konteksnya, menyebabkan perbincangan menjadi liar lari ke mana-mana. Seperti yang dipertontonkan para politisi dan pengamat di ruang publik.

Konteks ujaran itu  adalah produk UMKM dalam negeri yang dinomorduakan konsumen domestik karena kegilaan selera pada produk asing (luar negeri).  Dengan asumsi bahwa produk UMKM lebih bermutu atau sama mutu dan harganya juga bersaing atau terjangkau, maka jajaran Kementerian Perdagangan harus merumuskan strategi dan program menjadikan "produk dalam negeri di depan." Itu saja.

Di latar belakang ujaran itu ada kasus harga predator.  Satu perusahaan dari Cina misalnya telah mengekspor jilbab ke Indonesia dengan harga sangat murah, sehingga UMKM jilbab di Indonesia berhenti beroperasi. Dampaknya, terjadi pengangguran dan perlambatan ekonomi.

Ujaran presiden itu jelas dilandasi kemarahan dan pembelaan kepada sektor UMKM yang dimatikan oleh preferensi warga Indonesia pada produk asing.

Sekaligus ujaran itu teguran keras kepada Kementerian Perdagangan. "Elo bisa kerja gak sih? Masa elo biarin UMKM binaan elo mati dibunuh produk asing?"  Kira-kira begitu tegurannya dalam ragam bahasa preman.

Jelas ujaran "cinta produk dalam negeri" dan "benci produk luar negeri" (baca: impor) dari presiden harus dikenakan pada produk yang sama dan atau substitusi (termasuk substitusi impor). Dalam satu kalimat dungu: "kalau ada kesemek domestik, kenapa harus beli kesemek impor." Sesimpel itu.

Mengatakan ujaran presiden ngaco, karena kita masih impor pesawat terbang buataan AS,  henpon buatan Korea, dan kurma Arab misalnya, jelas keluar dari konteks. Kita tak mungkin membenci produk impor semacam itu. Karena kita butuh dan belum ada produk sibstitusi yang setara di dalam negeri.

Tapi jika satu produk, katakanlah batik cetak dan jilbab tadi, diproduksi di dalam negeri, lalu ada produk sejenis dengan "harga predator" dari Cina, maka produk impor ini harus dibenci.  Karena dia masuk ke negara kita dengan cara curang. Lalu membunuh UMKM penghasil produk sejenis. Lagi, menimbulkan pengangguran. 

Produk semacam itu memang harus dibenci karena merusak kedaulatan ekonomi kita dengan harga murah. Sederhananya, jika selembar jilbab buatan Cina harganya Rp 2.000, maka kita yang membeli produk itu telah menjual kedaulatan ekonomi kita seharga Rp 2,000. Sekaligus menghianati UMKM yang tumpur dan para pekerja yang di-PHK.  

Dengan menempatkan ujaran presiden dalam konteksnya, maka tidak akan ada tanggapan yang ngawur atau berlebihan terhadapnya. Dengan begitu kita bisa memberi respon yang lebih konstruktif. Bukannya membingkainya menjadi "sesat pikir presiden", lalu mengoarkannya ke ruang publik demi kepentingan politis.

Kita bisa saja mencintai produk dalam negeri dan membenci produk luar negeri (impor), sejauh itu bicara tentang produk yang sama atau substitutif, tapi dengan sejumlah prakondisi.

Pertama, pada tataran mentalitas, pastikan dulu pembalikan preferensi konsumen, dari produk impor ke produk domestik. Ini harus terjadi terutama pada kelas menengah yaitu keluarga pejabat, pengusaha, dan pesohor. 

Sulit berharap cinta produk domestik apabila kelas menengah kita doyan pamer produk impor, semisal tas, sepatu, kolor dan beha impor berharga puluhan bahkan ratusan juta, di ruang publik.  Revolusi mental -- yang dulu digaungkan Presiden Jokowi -- itu kunci.

Ujaran "benci produk asing" dari presiden akan jatuh menjadi lelucon akbar tahun ini, jika pejabat dan istrinya masih tampil di ruang publik dengan gayutan pakaian, alas kaki, dan asesori branded impor.

Kedua, pastikan mutu produk domestik sama atau lebih bagus dibanding  produk impor. Baik mutu bahan, disain, maupun pengerjaan.  Sehingga tidak ada alasan beli produk asing karena lebih mutu. 

Itu terutama tugas Kementerian Perindustrian secara sinergis dengan Kementerian Koperasi dan UMKM. Jangan hanya gedung promosi UMKM (SMESCO) di Jakarta saja yang megah, tapi isinya takmutu.

Ketiga, pastikan efisiensi dalam proses produksi barang-barang dalam negeri.  Antara lain melalui kebijakan deregulasi untuk memangkas biaya-biaya tak langsung seperti biaya administrasi, pajak, bea/cukai, dan lain-lain. Juga melalui pembaruan teknologi produksi yang lebih efisien.

Jika untuk mutu yang sama panci buatan Cina jauh lebih murah ketimbang buatan dalam negeri, ya, jangan salahkan rakyat kecil jika lebih memilih panci buatan Cina. Rakyat bukannya cinta panci Cina, tapi benci harga mahal panci Indonesia.

Keempat, pemerintah perlu punya kemauan dan komitmen politik ekonomi untuk menjadikan produk domestik menjadi raja di Indonesia. Jargon "cinta produk sendiri, benci produk asing" hanya omong kosong bila tidak diartikulasikan dalam strategi, kebijakan, dan program pembangunan industri domestik.

Demikianlah, ajakan "benci produk asing" dari Presiden Jokowi harus dipahami menurut konteksnya. Lalu ditanggapi secara bijak, dan dijalankan dengan tuntunan akal sehat. Jangan langsung julid binyir, judes lidah bibir nyinyir kepada presiden.(*)

Rujukan:

[1]   "Benci Produk Asing, Jokowi: Gitu Aja Ramai", okezone.com, 5/3/2021.

[2]  "Jokowi:  Gaungkan Benci Produk Asing!" detik.com, 4/3/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun