Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dari Tukang Kliping ke Tukang Riset

13 Februari 2021   15:32 Diperbarui: 13 Februari 2021   17:53 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca agihan Bu Suprihati tentang cara dan guna kliping artikel Kompasiana, Poltak (pseudonim) terkekeh-kekeh. (Baca: "Kliping Artikel Kompasiana", K.13.02.21). Bukan meremehkan, tapi takjub. Pikirnya, di era internet ini, masih ada generasi pra-milenial yang  setia pada kegiatan gunting-tempel itu.

Tentu di era internet kini teknik kliping lebih canggih.  Bolehlah  disebut e-kliping.  Tinggal salin-tempel (copy-paste), save in folder, atau save in favorite.  Tidak perlu lagi ritual gunting, lem, dan tempel. Itu kuno, era mesin tik manual teketek.

Kelihatannya remeh-temeh, sepele, tapi kegiatan kliping itu sebenarnya substantif. Dalam kegiatan riset sosial, kliping berita termasuk kegiatan pengumpulan informasi atau data. Kategorinya data sekunder, tak bersumber pada tangan pertama.

Poltak mengalami kegiatan kliping berita sebagai kegiatan pertama  dalam dunia riset sosial.  Itu adalah ajang ajar tentang jenis, pengumpulan, pengolahan, dan analisis data. Hal-hal yang mesti dikuasai sebelum diperbolehkan menjadi periset lapangan.

Saya akan ceritakan pengalaman Poltak itu di sini. Sebagai bukti bahwa kliping berita atau artikel bukanlah hal sepele.

Menjadi Tukang Kliping

Poltak lulus "begitu saja" menjadi tukang insiniur pertanian dari IPB tahun 1985.  Begitu saja? Ya, tanpa sidang ujian yang bikin banyak calon sarjana stres beser. 

"Kan sudah saya tanya-tanya selama proses bimbingan skripsi. Buat apa lagi ujian?" Begitu jawaban Prof. Sayogyo,  pembimbingnya, ketika Poltak minta diuji. Aih, lulus sarjana ternyata gampang.

"Sudah kerja?" Prof. Sayogyo bertanya, saat Poltak menemui beliau selepas wisuda dan liburan. "Belum, Pak." "Ya, sudah. Mulai besok kerja bersama saya di Pusat Studi Pembangunan." Memang tak sulit mendapat pekerjaan.

Besoknya Poltak menemui beliau di Pusat Studi Pembangunan. Dia diberi tugas pertama: mengkliping berita-berita koran tentang pertanian, pedesaan, dan kemiskinan.  

Alamak, setelah empat setengah tahun kuliah, seorang  tukang insiniur cuma jadi tukang kliping. Apa kata bapak Poltak, kalau sampai dia tahu anak yang dibanggakannya cuma jadi tukang baca, gunting, lem, dan tempel berita?

"Besok saya minta laporan ketja kliping, ya?" Prof. Sayogyo berpesan pada hari kelima Poltak bekerja. Hah? Kliping ada juga laporan? Mau lapor apaan?

"Kamu bikin kategori, abstrak, dan analisa kliping berita." Begitu saran seorang senior. "Goblok kupiara! Kenapa sih tak terpikir olehku sebelumnya." Poltak merutuki diri.

Maka, jadilah seperti kehendak Prof. Sayogyo. Sepanjang minggu Poltak baca berita, bikin abstrak, bikin kategori (pertanian, pedesaan, kemiskinan), lalu analisis isi berita. Setiap akhir minggu hasilnya dilaporkan kepada Prof. Sayogyo.

Begitu berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Tukang insiniur bergiat sebagai tukang kliping berita koran. Bukan tukang sembarang tukang, sih. Tapi tukang kliping ilmiah. Keren, kan?

Sebagai tukang kliping ilmiah, Poltak mereguk ajar pengumpulan (seleksi) informasi atau data yang relevan, kategorisasi informasi, abstraksi informasi, analusis, dan penulisan laporan. Asal tahu saja, itu adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki seorang periset sosial.  

Menjadi Tukang Riset

"Bisa riset evaluasi pompanisasi ke Subang? Bina Swadaya punya proyek pompanisasi di sana."

Itulah penugasan baru dari Prof. Sajogyo  untuk Poltak. Setelah tiga bulan berjibaku menjadi tukang kliping. Itu artinya Poltak lulus ujian dasar untuk menjadi periset sosial kelas pemula. 

Kinerja Poltak sebagai tukang kliping dinilai memuaskan. Dia sudah punya modal dasar untuk jadi periset. Sebagai ajang pembuktian diri, Poltak langsung dikirim mekakukan riset empiris ke lapangan.

Itu artinya Poltak naik kelas dari tukang kliping menjadi tukang riset. Itu proses naik kelas yang tak terbayangkan sebelumnya.  

Riset evaluasi pompanisasi itu dilakukan Poltak di Desa Sidajaya Subang. Sebulan lamanya. Metodenya kualitatif. Tanpa rancangan, tanpa kuesioner. Langsung hajar.

Rancangan dan pertanyaan riset harus dibikin, tepatnya ditemukan, di lapangan. Bersamaan dengan proses pengumpulan data.  Itulah prises riset dengan pendekatan "metode tanpa-metode". Anarkis, pokoknya.

Di situlah Poltak menyadari manfaat kemampuan yang didapatnya sewaktu jadi tukang kliping. Dia menjadi sensitif terhadap relevansi, kebenaran, dan kedalaman informasi riset. Menjadi trampil memilah-milah informasi menurut topiknya. Serta bisa melihat keterkaitan antar topik atau kategori informasi.

Di lapangan, buah ketrampilan itu adalah catatan harian. Ini semacam "kliping" yang informasinya diproduksi sendiri. Ada  sumber, topik, tempat, dan waktu pengumpulan informasi.  Setiap pagi, Poltak harus memproduksi catatan harian, berdasar hasil pengamatan dan wawancara hari kemarin.

Berdasar catatan harian itu, selama di lapangan Poltak sudah mulai menyusun draft laporan. Ini draft dinamis, bisa berubah setiap saat, sesuai dengan "arahan" data.

Setelah pulang dari Subang, Poltak hanya perlu seminggu untuk menyelesaikan laporan riset evaluasi pompanisasi itu, lalu menyerahkannya kepada Prof. Sayogyo.

Prof. Sayogyo tak pernah memberi penilaian atas laporan itu. Tapi, kira-kira sebulan kemudian, Poltak ditugaskan memimpin satu tim peneliti untuk riset evaluasi program peningkatan rumah desa, besutan Depsos RI. Riset itu, menggunakan metode studi kasus, dilakukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, satu desa kasus tiap propinsi.

Dari Perkara Kecil ke Perkara Besar 

Pengalaman Poltak mengajarkan, barang siapa setia dalam perkara kecil maka setia pula dalam perkara besar. Kegiatan kliping berita memang perkara kecil. Tapi, jika Poltak tidak mampu menjadi tukang kliping yang baik, maka dia tak akan bisa menjadi tukang riset yang baik.

Prinsip "perkara kecil ke perkara besar" itu hukum yang berlaku umum.  Karyawan yang baik dulu, baru bisa jadi direktur yang baik. Anggota partai yang hebat dulu, baru bisa jadi ketua partai yang hebat. Warga yang baik dulu, baru bisa jadi anggota DPR yang baik.

Pengalaman Poltak tadi mungkin tak spesial amatlah.  Tapi mudah-mudahan darinya bisa dipetik pelajaran hidup, sekecil apa pun itu.(*)

*Gang Sapi Jakarta, 13.02.21

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun