Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Keluarga Poltak Menyelamatkan Bumi dari Pekarangan Rumahnya

21 Februari 2021   19:59 Diperbarui: 22 Februari 2021   06:48 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat, jangan menggunakan pestisida dan herbisida. Pestisida dan herbisida kimiawi mencemarkan tanah, air, dan tanaman. Residunya pada tanaman bersifat toksik. 

Dengan mengikuti empat prinsip itu, pertanian natural secara gradual menyehatkan kembali tanah dan air yang telah dirusak pertanian modern. Bumi menjadi sehat. Tananaman pangan juga menjadi sehat. Hasilnya juga sehat dan bergizi baik.

Sebuah riset di Jepang menunjukkan bahwa kadar antioksidan pada apel hasil pertanian natural dibanding pertanian modern. Rasanya juga lebih enak karena kandungan  gula, asam amino, dan asam organiknya tinggi sedangkan nitrogen nitrat rendah.[3]

Menyelamatkan Bumi dari Pekarangan

Sadar bumi sakit, Poltak memutuskan untuk menerapkan prinsip-prinsip pertanian natural di setapak pekarangan rumahnya di Gang Sapi Jakarta. Dia dan keluarganya ingin ikut menyelamatkan bumi dengan cara sederhana. Itu bagian dari semangat keluarganya melawan kapitalisme dari rumah.[4]

Bukan hal baru sebenarnya. Poltak hanya mereplikasi pekarangan belakang rumah petani Jawa di depan rumahnya. Pekarangan petani Jawa itu dikenal sebagai permakultur, permanen agrikultur. Sekali tanam, panen berkali-kali. Misalnya kunyit, tidak dicabut, tapi digali dan diambil umbinya sebanyak diperlukan. 

Ada sereh, singkong sayur, dan talas Bogor (Dokpri)
Ada sereh, singkong sayur, dan talas Bogor (Dokpri)
Begitulah, Poltak menanam berbagai tanaman bumbu dapur di pekarangannya. Jahe, laos, kunyit, kencur, kunci, pandan, sereh dan jeruk purut. Ada juga singkong sayur dan talas Bogor. Semua itu ditanam tanpa aturan, bergerumbul natural,  di bidang sempit pekarangan rumah keluarganya. 

Semua tanaman itu tumbuh di pekarangan tanpa pupuk, tanpa pestisida, dan tanpa perawatan intensif. Tanah juga tak diolah. Pokoknya, tanaman disemangati untuk tumbuh sendiri, dan menyuburkan tanah dengan guguran daun atau batang tuanya. 

Bibit tanaman itu sebagian besar adalah sisa belanjaan bumbu dan sayur dari pasar. Jahe, laos, kunci, kencur, sereh dan kunyit adalah bumbu dapur yang sudah bertunas. Singkong sayur berasal dari limbah batang sayur yang dibeli di pasar. Semua itu ditancapkan di pekarangan. Begitu cara Poltak bertani natural. Tak perlu beli bibit atau benih.

Keluarga Poltak sudah menikmati hasil pertanian naturalnya. Kalau istrinya butuh kunci untuk masak sayur bayam, misalnya, Poltak tinggal gali di pekarangan. Perlu daun kunyit untuk bikin gulai, tinggal petik di pekarangan.  Dijamin sehat dan enak, karena tanpa pupuk dan pestisida kimiawi.

Pertanian natural itu bagian dari perlawanan keluarga Poltak terhadap kapitalisme. Sekarang kapitalis menjual sayuran dan bumbu organik dengan harga mahal di supermarket. Hati Poltak kesal, maka dia tanam sendiri bumbu dan sayur secara natural di pekarangannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun