"Poltak, ayo, turun ke halaman." Poltak terpana. Di telinganya, suara Berta terdengar merdu, lembut. Takada, sama sekali takada, lengking penusuk gendang telinga.
Kerbau dicucuk hidunglah Poltak. Â Mengiring langkah ringan ceria Berta, Â dia ikut turun ke halaman samping rumah.
Begitulah jadinya. Orang tua menjalankan urusannya, adat mangupa tondi, di dalam rumah. Anak kecil bikin urusan sendiri di pekarangan.
"Ah, ada pohon sotul. Lebat kali buahnya. Maniskah?" Â Mata Poltak nanar memandangi buah sotul, kecapi, yang kuning ranum.
"Manislah." Â Berta cekatan beranjak ke bawah pohon kecapi. Lalu memungut buah yang jatuh karena matang. Â
Poltak terbawa ikut. Berdua dengan Berta mencari buah kecapi jatuh. Terbit rasa senang di hatinya. Begitu pun di hati Berta. Adakah yang salah jika dua anak kecil senang?
"Mmm." Â Poltak menggumam puas, manggut-manggut. Bekerjap-kerjap matanya merasakan sensasi manis-manis sepat kecapi dalam mulutnya.
Dua anak kecil itu duduk di bangku kayu di bawah rimbun bogenvil berbunga merah jambu, di gigir barat halaman. Berta di ujung satu, Poltak di ujung lainnya. Â Buah kecapi di tengahnya.
Rumah Ama Rumiris terletak di ketinggian, membuka pemandangan lepas ke arah barat. Sambil mencecap biji kecapi, Poltak menikmati hamparan hijau sawah bertingkat di hadapannya. Aliran sungai Binangabolon menutup hamparan melandai itu di sisi barat, tepat di dasar tebing curam, setinggi kitaran delapanpuluh meter.
Tebing itu terbelah dua dan Binangabolon mengalir di selanya ke arah Danau Toba di barat. Sekitar limapuluh meter di atas sungai, di pinggang tebing, terentang jembatan dan jalan raya lintas Sumatera. Mobil, bus, dan truk yang melintas terlihat kecil dari halaman rumah Ama Rumiris.
"Poltak melamun." Berta setengah berteriak seraya bangkit dari duduknya. Tak ayal, bangku terjungkat. Poltak jatuh terjengkang ke tanah.