"Ama Rumiris itu anak laki-laki dari Ompu Soaduon, saudara laki-laki dari nenekmu. Â Karena itu Ama Rumiris itu tulangmu."Â
Penjelasan bapaknya membuat Poltak paham siapa Ama Rumiris dan mengapa dia harus memanggilnya tulang. Ama Rumiris itu adalah hula-hula, pihak pemberi isteri, bagi keluarga Poltak.Â
Ama Rumiris dan keluarganya tinggal di kampung Sosorbinanga, Hutabolon. Sekitar satu kilometer dari kedai Ama Rosmeri. Â
Sosorbinanga adalah sebuah lembah kecil yang dialiri  Binangabolon, sebuah sungai yang berhulu di hutan Simarnaung sebelah timur, dan bermuara di pantai Ajibata, Danau Toba, di barat.  Kampung itu dikitari areal persawahan bertingkat.
Dari jalan raya, rombongan Poltak harus menuruni tebing curam, lalu menyeberangi sungai, dan meniti pematang sawah sebelum tiba persis di depan rumah Ama Rumiris di Sosorbinanga.
"Horas!" Â Kakek, nenek, bapak, dan ibu Poltak menyapa nyaring di depan pintu rumah Ama Rumiris, yang terbuka lebar.
"Bah! Horas! Â Datang boru kita dari Panatapan, oi, amang ni Rumiris. Â Ompu Poltak dan Amani Poltak. Mari, naik ke rumah!" Â Nai Rumiris menyambut rombongan Poltak dengan sukacita. Senyum berseling tawa tak lekang dari bibirnya.
"Bah! Ini Poltak, ya.  Bagak kali kau bere.  Ee, Berta! Sini kau! Paribanmu Si Poltak datang. Temanilah dia."
Poltak terkesiap. Berta? Pemilik suara lengking tinggi itu? Paribannya?Â
"Ini pasti salah tarombo." Poltak mengkambing-hitamkan tarombo, garis silsilah.Â
Kampung Sosorbinanga terasa berputar dalam penglihatan Poltak. Kepalanya terasa pusing.