Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Percakapan Dua Ekor Ular tentang Skenario di Balik Surat AHY yang Tak Dibalas Jokowi

5 Februari 2021   13:12 Diperbarui: 5 Februari 2021   22:50 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AHY dan Moeldoko (Sumber: tribunnews.com)

Beberapa hari terakhir ini, ramai perbincangan tentang surat AHY, Ketum Partai Demokrat kepada Jokowi, Presiden RI. Isi surat itu minta klarifikasi Presiden Jokowi tentang isu keterlibatan "Orang Istana", tegasnya Kepala KSP Moeldoko, dalam persekongkolan kudeta Ketum PD.

Pratikno, Mensesneg sudah menegaskan, Jokowi tidak membalas surat itu. Sebab isu kudeta itu, kalau benar ada, urusan internal PD sendiri sesuai aturan AD/ART partai. (Cakep!)

Implisit dalam jawaban Pratikno,  tak usahlah meminjam kuasa Presiden RI untuk menyelesaikan masalah intetnal PD.  Selesaikan saja sendiri. Jadi pemimpin, kata Moeldoko sebelumnya, harus kuat, jangan baperan. Maksudnya, jangan cengeng.

Keriuhan soal surat AHY yang tak bebalas itu, tertangkap pantauan radar Ulara dan Ulari juga. Dua ekor ular milenial yang, untuk sementara waktu, hidup menggelandang di salah satu kolong jembatan di Jalan Thamrin Jakarta.  

Perkapan Ulara dan Ulari langsung gayeng.  Mereka baru tuntas menelisik artikel Daeng Khrisna Pabichara, terutama komentar-komentarnya. Sambil hidung dan mata tetap awas.  Siapa tahu ada mangsa lewat: tikus.  Atau, kodok, tak apalah.

Ulara (Ra):  "Ri, aku setuju banget isi diskusi Daeng Khrisna dan Engkong Felix dalam artikel ini.  Jokowi tidak membalas surat AHY karena Ketum PD itu lupa mencantumkan kode keras di akhir suratnya.  Harusnya dia kirim kode 4 x 4 = 16, sempat tidak sempat harus balas."

Ulari (Ri):  "Tapi kode keras risiko tinggi itu, Ta.  Nanti bisa-bisa dibalas pedas sadis, 3 : 3 = habis, suka tidak suka kita putus."

Ra: "Wah, iya juga, ya. Buntutnya bisa jadi you and me, end!"

Ri:  "You and me, end? Sembarangan, loe, Ra.   AHY yang ditampik Jokowi, kok,  kita yang end!"

Ra: "Lha, gue gak lagi ngomongin hubungan kita, Ri. Tapi hubungan AHY dan Jokowi."  

Ri: "Kirain.  Tapi, Ra, menurut loe, ada apa sebenarnya sebenarnya di balik surat AHY kepada Jokowi itu?"

Ra: "Nah, pertanyaan cerdas, Ri. Gue suka. Gue sih punya pandangan sendiri.  Bedalah dengan pandangan para politisi dan pengamat politik itu.  Sebut siapa, gitu. Elang,  Fery, Toto, Yon, Arnold, Susy, Kris, apa lagi Daeng Khrisna dan Engkong Felix dari Kompasiana. Menurut analisis gue, di balik surat itu ada persekutuan aneh di tubuh PD sebagai pemanasan menuju Pilpres 2024."

Ri: "Wah, menarik, pandangan kenthir.  Gue mulai suka pikiran, loe, Ra. Bukan pribadi, loe.  Loe, kan gak punya harta pribadi? Gak usah melotot, gitu. Fakta! Ayo, lanjut, Ra!"

Ra: "Gini, Ri.  Menurut gue, di balik surat itu ada skenario pra-konvensi.  Maksud gue, konvensi PD untuk memilih Capres 2024 dari partai itu. Sekarang PD itu kan krisis sosok politisi kuat.  Gak ada sosok yang layak diusung sebagai Capres 2024.  AHY masih terlalu mengkal, SBY udah habis masanya.  Karena itu mereka mencari sosok kuat di luar partai.  Harus orang di lingkaran Jokowi.  Jadi punya kekuasaan, sebagai aset politik menuju 2024.  Juga harus tentara, untuk mengantisipasi kemungkinan Prabowo naik lagi jadi Capres 2024. Nah, pilihan yang paling strategis, ya, Moeldoko."

Ri: "Tapi, kok, AHY dan politisi PD terkesan menyudutkan Moeldoko, ya.  Membuat kesan Moeldoko memfasilitasi kudeta Ketum PD, gitu?"

Ra: "Nah, itu dia, persekutuan aneh. Antara kubu AHY dan kubu anti-AHY di PD.  Kedua kubu punya kepentingan serupa.  Mencari sosok kuat untuk dicapreskan, sekaligus untuk mengangkat kembali PD dari jurang keterpurukan." 

Ri: "Jadi, menurut loe, Ra, AHY sebenarnya tahu dan membiarkan saja gerilya politik kelompok anti-AHY menemui Moeldoko?"

Ra: "Dugaan gue, kubu AHY tahulah.  Tapi dibiarkan saja, karena bisa menjadi modal politik yang menguntungkan PD."

Ri:  "Tapi, kesannya, sekarang PD memusuhi Moeldoko, ya.  Sepertinya, kubu AHY pengen banget Jokowi memecat atau paling tidak menegur keras Moeldoko. Kayaknya, sekarang Moeldoko sendirian berhadapan dengan PD."

Ra:  "Nah, pengamatan cerdas. Otak ular loe, boleh juga, Ri.  Memang begitu skenarionya.  Moeldoko sendirian melawan kubu AHY di PD.  Ada maksud ganda di sini.  Di satu sisi, Moeldoko akan tampak sebagai korban yang ditinggal Jokowi.  Sehingga dia akan mendulang simpati.  Ini mirip seperti SBY dulu, waktu menampilkan diri sebagai korban dari Megawati. Di lain sisi, Moeldoko diberi panggung terbuka, untuk membuktikan dia bisa mengendalikan isu kudeta sekaligus menguasai perhatian anggota PD.  Ringkasnya, dia mendapat panggung untuk menguasai PD di tingkat wacana politik."

Ri:  "Lalu? Apa kaitannya dengan pra-konvensi atau konvensi PD?"

Ra:  "Nah. Apa yang terjadi sekarang adalah pra-konvensi.  PD kini sebenarnya sedang meminang Moeldoko.  Lalu, nanti, pas penyelenggaran Konvensi PD untuk Penetapan Capres 2024, sudah bisa langsung aklamasi memilih Moeldoko.  Pada saat itu, kubu AHY dan kubu anti-AHY otomatis berdamai, bersatu di bawah pengaruh Moeldoko.  Gimana, Ri, brilian kan, analisisku?

Ri:  "Brilian banget, Ra.  Tapi, loe musti ingat, loe itu ular, Ra. Loe , kan cuma punya insting hewani, gak punya pikiran.  Manusia punya pikiran, akal budi.  Jangan mimpi manusia bisa menerima analisis tanpa pikir dari loe, Ra."  

Ra:  "Iya, sih, Ri.  Tapi, mana tahu sifat ular dalam diri manusia itu timbul, kan.  Lalu percaya pada analisis tanpa pikir gue."

Ri:  "Ah, sudahlah.  Baiknya kita, bangsa ular, tahu diri aja, Ra.  Eh, ngomong-ngomong, sumpek banget di kolong jembatan ini, ya.  Kira-kira, ada tempat nggak untuk ular di lingkungan Istana atau Markas PD, ya.

Percakapan Ulara dan Ulari terhenti.  Soalnya, mendadak, dua orang petugas, kayaknya Satpol PP, datang memeriksa setiap sudut di kolong jembatan tempat  mereka berdua tinggal.  Dari pembicaraan mereka, Ulara dan Ulari tahu, rupanya kedua petugas itu sedang memastikan kolong jembatan telah bersih dari gelandangan.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun