Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Janda ke Pigai, Rasis atau Kritis?

1 Februari 2021   15:35 Diperbarui: 1 Februari 2021   18:15 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana dengan kategori evolusi sosiologis?  Apakah dengan ujaran itu Janda hendak mengatakan bahwa tahap pemikiran Pigai belum mencapai pola positivis?  Mungkin masih mandeg di pola metafisik atau bahkan teologis? 

Tidak ada data untuk mengatakan Pigai masih berada pada pola pikir metafisis ataupun teologis.  Tapi, pada khusus pada cuitannya tentang Hendropriyono, ada indikasi bahwa Pigai tidak sepenuhnya menggunakan kaidah positivis.

Pertama, Pigai mempertanyakan kapasitas Hendropriyono di negeri ini, sehingga merasa berhak bicara tentang pembubaran FPI.  Apakah penasehat presiden, pengamat, atau aktivis? Ini menyalahi kaidah positivisme karena hak bicara tentang pembubaran FPI tidak berkorelasi eksklusif dengan kapasitas sosial tertentu, dalam arti jabatan atau pekerjaan tertentu.   Setiap warga negara punya hak bicara tentang hal itu.

Kedua, Pigai implisit menegasikan eksistensi Hendropriyono.  Katanya, "Biarkan (negeri ini) diurus generasi Abad ke-21 yang egaliter, humanis, (dan) demokrat(is). Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua."  Pigai menilai21 dirinya sebagai generasi Abad ke-21 yang egaliter, humanis, dan demokratis (?), sedangkan Hendropriyono sebaliknya (?).  Itu jelas opini subyektif, tanpa dasar faktual.

Juga, ketika Pigai menilai Hendropriyono sebagai "dedengkot tua" yang tak dibutuhkan, maka logikanya pernyataan itu juga berlaku untuk para politisi gaek yang masih gemar koar-koar di negeri ini.  Artinya, pernyataan Pigai sangat subyektif, mencerminkan ketidakcocokannya dengan Hendropriyono.

Dalam konteks pengertian sosiologis, dengan demikian, ujaran "Sudah selesai evolusi belum kau?" dari Janda dapat ditafsirkan sebagai suatu kritik keras dari Janda kepada Pigai.  Bahkan tidak sekedar keras, tapi agak "sadis", karena langsung menohok aspek mendasar pada Pigai: pola pikir.

Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan, Janda sedang mengatakan ini kepada Pigai: "Sebagai manusia yang dikarunia akal budi, berpikirlah secara logis.  Jangan sembarang bicara tanpa dasar fakta empiris."  

Begitu sajakah? Ya, tak lebih dari itu.  Tak ada data untuk menyimpulkan bahwa ujaran Janda kepada Pigai itu adalah serangan berbau rasis.  Kecuali jika, dan hanya jika, secara subyektif memaksa untuk meletakkannya dalam konteks rasialisme.

***

Mengapa tuduhan-tuduhan atau sangkaan-sangkaan tindakan rasis, seperti pada kasus Pigai, ini harus diulik cermat?  Bukan untuk membela orang seperti  Abu Janda, atau juga Ambroncius Nababan.  Bukan itu.  Tapi untuk membela bangsa ini, agar tak berantakan karena terbakar isu rasisme yang sebenarnya "omong kosong demi kepentingan pribadi atau kelompok."

Setelah isu agama mulai kurang laku, terlebih setelah Kementerian Agama kini lebih "berwarna",  kini ada kecenderungan untuk menggunakan isu ras atau rasisme sebagai tunggangan untuk memecah-belah persatuan bangsa ini.  Jelas pemanfaatan isu rasisme itu bukan demi kepentingan Bangsa Indonesia, tapi kepentingan personal dan kelompok yang anti-nasionalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun