Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Janda ke Pigai, Rasis atau Kritis?

1 Februari 2021   15:35 Diperbarui: 1 Februari 2021   18:15 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abu Janda dan Natalius Pigai (Kolase dari: suara.com)

"Apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belum kau?" -- Abu Janda

Lantaran ujaran itu ditujukan Abu Janda, nama parodik Permadi Arya, kepada Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas HAM asal Papua, maka dia dituduh rasis sehingga KNPI melaporkannya ke Bareskrim Polri.[1]

Ujaran itu dikicaukan Janda lewat akun twitternya (02.01.2021), merespon cuitan Pigai (01.01.2021) yang mempertanyakan kapasitas Hendropriyono bicara soal pembubaran FPI. Kicau Pigai: "Ortu mau tanya. Kapasitas Bapak di Negeri ini sebagai apa ya, Penasehat Presiden, Pengamat? Aktivis? Biarkan diurus generasi Abad ke 21 yang egaliter, humanis, Demokrat. Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua." [2]

Janda mencuitkan ujaran "evolusi belum selesai" itu sebagai penutup jawabannya terhadap pertanyaan Pigai. Kicau Janda: "Kapasitas Jend. Hendropriyono: Mantan Kepala BIN, Mantan Direktur BAIS, Mantan Menteri Transmigrasi, Profesor Ilmu Filsafat Intelejen, Berjasa di berbagai operasi militer."

Benarkah Janda berlaku rasis terhadap Pigai, dengan ujarannya itu? Atau, sebenarnya, Janda hanya berlaku kritis terhadap Pigai, dengan cara yang sedikit "sadis"? 

Saya akan coba telisik perkara itu. Namun, agar tak silang batasan, saya perlu menjelaskan konsep-konsep evolusi dan rasis terlebih dahulu.

***

Merriam-Webster Dictionary  memberikan dua pengertian evolusi, biologis (genetik) dan sosiologis (termasuk budaya, ekonomi, dan politik).   Pengertian biologisnya: "keturunan yang telah mengalami modifikasi dari spesies yang terdahulu: akumulasi perubahan terwariskan dari waktu ke waktu dalam suatu populasi organisme yang mengarah pada tampilnya bentuk baru.  Proses itu menjelaskan munculnya spesies dan varietas baru, lewat ragam mekanisme biologis, antara lain seleksi alami, mutasi genetik, dan hibridisasi.

Berikut ini contohnya. Seleksi alam: populasi kupu-kupu berwarna cerah digantikan kupu-kupu berwarna gelap di Inggris akibat asap pabrik industri. Mutasi genetik: munculnya hama wereng varian baru yang resisten terhadap pestisida. Hibridisasi: varietas padi hibrida yang diciptakan dari dua varietas padi non-hibrida.

Secara sosiologis, evolusi diertikan sebagai proses perubahan berkelanjutan dari kondisi yang lebih rendah, sederhana, atau buruk  menjadi kondisi yang lebih tinggi, komplek, atau lebih baik.  Atau, proses kemajuan sosial, politik, dan ekonomi yang berlangsung secara bertahap dan damai. 

Dalam bahasa Sosiologi Pembangunan, proses perubahan semacam itu disebut sebagai perubahan sosial bertahap. Sebagai contoh:  komunitas terasing berkembang menjadi komunitas desa dan akhirnya komunitas kota.

Perubahan sosial evolutif semacam itu tak semata menyangkut struktur sosial, atau aspek materialis, tetapi juga aspek immateril,  perspektif dan idiologi.  Aguste Comte, Bapak Sosiologi, menyebutnya sebagai perubahan dari pola pikir teologis, ke metafisis, sampai positivis. 

Secara khusus, pengertian biologis evolusi itu tak menunjuk perubahan gradual dari "kera" menjadi "manusia".  Russel H. Tuttle, Profesor Antropologi (University of Chicago) menegaskan -- dalam Britannica Encyclopedia -- bahwa evolusi manusia merujuk pada proses perkembangan manusia (Homo sapiens)  sejak dari primata-primata spesies Homo terdahulu  yang telah punah.  Jadi, bukan proses perubahan dari "kera" (bukan Homo sp.) menjadi "manusia" (benar Homo sp.).  Pandangan yang bahkan oleh Charles Darwin  sendiri tak pernah dikatakan.

Selanjutnya, pengertian konsep rasis (rasisme, rasialisme).  Tentang hal ini, saya sudah bahas dalam artikel "Dari Ambroncius ke Pigai, Rasis atau Humiliasi?" (kompasiana.com, 29.01.2021).  Ringkasnya, merujuk Audrey Smedley, Profesor Antropologi (Virginia Commonwealth University) dalam Britannica Encyclopedia, rasisme (atau rasialisme) adalah adalah "keyakinan bahwa manusia dapat dipilah ke dalam entitas biologis (ras) yang bersifat terpisah dan eksklusif." Juga diyakini "adanya hubungan kausal antara ciri fisik bawaan dan bobot personalitas, intelektualitas, moralitas, dan ciri budaya dan tatalaku lainnya."

Implikasipengertian itu, "diyakini bahwa, secara bawaan, beberapa ras tertentu lebih tinggi dibanding ras lainnya."  Sebagai contoh, orang kulit putih (ras Kaukasoid) menganggap orang kulit kuning (ras Mongoloid) dan kulit hitam (ras Negroid) kasar, bodoh, dan barbar, sehingga harus hidup secara terpisah secara sosial dan geografis.

Perhatikanlah, tidak ada kaitan antara konsep evolusi dan rasisme.  Evolusi, baik dalam pengertian biologis dan sosiologis berlaku sama untuk semua ras manusia, Homo sapiens. Dalam pengertian biologis, tidak ada satupun ras yang proses evolusinya lebih lambat atau lebih cepat dibanding ras lainnya.

Tapi, jika bicara tentang evolusi sosiologis, memang ada kesenjangan tingkatan evolusi, atau perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.  Ras Kaukasoid secara umum lebih maju dibanding ras Mongoloin dan ras Negroid.  Tapi, jelas itu bukan karena faktor ras.  Melainkan faktor sosial-politik yang menciptakan kesenjangan struktural antara negara-negara Barat dan Timur, atau antara Utara dan Selatan, di masa lalu.

Hal itu terjadi juga di Indonesia, dalam bentuk kesenjangan sosial-ekonomi antara Wilayah Barat dan Wilayah Timur atau antara Jawa dan Luar-Jawa. Untuk waktu yang lama, sejak Orde Lama, pembangunan di Indonesia bersifat "Jawa Centris" atau "Barat Centris".  Akibatnya, wilayah timur, khususnya Papua menjadi terbelakang.

***

Sekarang, markilik, mari kita ulik, apakah ujaran "Apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belum kau?" yang dilontarkan Janda kepada Pigai termasuk kategori rasis atau rasisme? Perhatikanlah, secara biologis, konsep evolusi itu tak pandang ras, berlaku sama untuk semua manusia, Homo sapiens. Artinya, berlaku sama untuk Janda dan Pigai, juga untuk setiap manusia kini.  Kita semua, yang menyebut diri "manusia", sedang mengalami proses itu. Ribuan tahun lagi ke depan, ciri biologis manusia dipastikan berbeda dari sekarang ini.

Implikasinya, ketika Janda bilang "Sudah selesai evolusi belum kau?" kepada Pigai, maka dia sejatinya sedang bicara hal serupa tentang dirinya sebagai sesama manusia. Jadi, memang tak ada kandungan rasis di situ. Apalagi jika diingat Darwin tak pernah bilang "manusia" berevolusi dari "kera."

Bagaimana dengan kategori evolusi sosiologis?  Apakah dengan ujaran itu Janda hendak mengatakan bahwa tahap pemikiran Pigai belum mencapai pola positivis?  Mungkin masih mandeg di pola metafisik atau bahkan teologis? 

Tidak ada data untuk mengatakan Pigai masih berada pada pola pikir metafisis ataupun teologis.  Tapi, pada khusus pada cuitannya tentang Hendropriyono, ada indikasi bahwa Pigai tidak sepenuhnya menggunakan kaidah positivis.

Pertama, Pigai mempertanyakan kapasitas Hendropriyono di negeri ini, sehingga merasa berhak bicara tentang pembubaran FPI.  Apakah penasehat presiden, pengamat, atau aktivis? Ini menyalahi kaidah positivisme karena hak bicara tentang pembubaran FPI tidak berkorelasi eksklusif dengan kapasitas sosial tertentu, dalam arti jabatan atau pekerjaan tertentu.   Setiap warga negara punya hak bicara tentang hal itu.

Kedua, Pigai implisit menegasikan eksistensi Hendropriyono.  Katanya, "Biarkan (negeri ini) diurus generasi Abad ke-21 yang egaliter, humanis, (dan) demokrat(is). Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua."  Pigai menilai21 dirinya sebagai generasi Abad ke-21 yang egaliter, humanis, dan demokratis (?), sedangkan Hendropriyono sebaliknya (?).  Itu jelas opini subyektif, tanpa dasar faktual.

Juga, ketika Pigai menilai Hendropriyono sebagai "dedengkot tua" yang tak dibutuhkan, maka logikanya pernyataan itu juga berlaku untuk para politisi gaek yang masih gemar koar-koar di negeri ini.  Artinya, pernyataan Pigai sangat subyektif, mencerminkan ketidakcocokannya dengan Hendropriyono.

Dalam konteks pengertian sosiologis, dengan demikian, ujaran "Sudah selesai evolusi belum kau?" dari Janda dapat ditafsirkan sebagai suatu kritik keras dari Janda kepada Pigai.  Bahkan tidak sekedar keras, tapi agak "sadis", karena langsung menohok aspek mendasar pada Pigai: pola pikir.

Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan, Janda sedang mengatakan ini kepada Pigai: "Sebagai manusia yang dikarunia akal budi, berpikirlah secara logis.  Jangan sembarang bicara tanpa dasar fakta empiris."  

Begitu sajakah? Ya, tak lebih dari itu.  Tak ada data untuk menyimpulkan bahwa ujaran Janda kepada Pigai itu adalah serangan berbau rasis.  Kecuali jika, dan hanya jika, secara subyektif memaksa untuk meletakkannya dalam konteks rasialisme.

***

Mengapa tuduhan-tuduhan atau sangkaan-sangkaan tindakan rasis, seperti pada kasus Pigai, ini harus diulik cermat?  Bukan untuk membela orang seperti  Abu Janda, atau juga Ambroncius Nababan.  Bukan itu.  Tapi untuk membela bangsa ini, agar tak berantakan karena terbakar isu rasisme yang sebenarnya "omong kosong demi kepentingan pribadi atau kelompok."

Setelah isu agama mulai kurang laku, terlebih setelah Kementerian Agama kini lebih "berwarna",  kini ada kecenderungan untuk menggunakan isu ras atau rasisme sebagai tunggangan untuk memecah-belah persatuan bangsa ini.  Jelas pemanfaatan isu rasisme itu bukan demi kepentingan Bangsa Indonesia, tapi kepentingan personal dan kelompok yang anti-nasionalisme.

Kepada warga bangsa ini, yang masih bisa berpikir logis, dan masih cinta Indonesia, terhadap upaya-upaya pemanfaatan isu rasisme untuk menghancurkan Bangsa Indonesia, ijinkan saya menyampaikan satu kata pinjaman dari Wiji Thukul: "Lawan!" (*)

Rujukan:

 [1] “Buntut Dugaan Rasisme, Kini Arya Permadi Alias Abu Janda Juga Dipolisikan KNPI,” kompas.tv, 28/01/2021.

[2] Pigai ke Jenderal Hendropriyono: Apa Kapasitas Bapak di Negeri Ini,” viva.co.id, 01/01/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun