Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dari Ambroncius ke Natalius, Rasis atau Humiliasi?

28 Januari 2021   13:51 Diperbarui: 29 Januari 2021   07:47 2442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ambroncius Nababan (kiri) dan Natalius Pigai (Sumber: Kolase Tribun Timur/Rasni Gani)

“Komik strip” dialog Natalius Pigai dan Gorilla yang dibagikan Ambroncius Nababan lewat akun media sosial kini direspons Bareskrim Polri sebagai sangkaan tindakan rasis. Tapi lebih tepat dikategorikan tindakan humiliasi?

Saya akan coba menjawab dua pertanyaan dalam setarikan nafas itu secara ringkas. Tapi sebelum itu penting untuk memahami dulu konsep-konsep rasisme dan humiliasi.

***

Saya mulai dari konsep yang paling gampang: humiliasi. Jika merujuk pada Merriam-Webster Dictionary, humiliasi (humiliate) diertikan sebagai “to reduce (someone) to a lower position in one's own eyes or others' eyes : to make (someone) ashamed or embarrassed.” 

Dalam Bahasa Indonesia, “menurunkan (seseorang) ke posisi yang lebih rendah di mata seseorang atau mata liyan; membuat (seseorang) malu atau taknyaman.” Dalam satu kata, humiliasi berarti “penghinaan”, atau “penistaan”, atau “merendahkan.”

Untuk memudahkan pemahaman, saya beri contoh berupa kalimat-kalimat penghinaan. Guru kepada murid: “Dasar otak udang kamu!” Direktur kepada karyawan: “Dasar monyet kamu!” Orangtua kepada anak: “Kamu anak setan!” 

Lanjut ke pengertian rasisme. Saya merujuk pada pengertian yang diberikan Audrey Smedley (Profesor Antropologi, Virginia Commonwealth University) dalam Britannica Encyclopedia.

Rumusan Smedley: “the belief that humans may be divided into separate and exclusive biological entities called “races”; that there is a causal link between inherited physical traits and traits of personality, intellect, morality, and other cultural and behavioral features; and that some races are innately superior to others.”

Ringkasnya, menurut Smedley rasisme atau rasialisme, adalah “keyakinan bahwa manusia dapat dipilah ke dalam entitas biologis (ras) yang bersifat terpisah dan eksklusif.” Juga diyakini “adanya hubungan kausal antara ciri fisik bawaan dan bobot personalitas, intelektualitas, moralitas, dan ciri budaya dan tatalaku lainnya.” Implikasinya, “diyakini bahwa, secara bawaan, beberapa ras tertentu lebih tinggi dibanding ras lainnya.”

Lagi, saya berikan contoh untuk memudahkan pemahaman. Orang kulit putih menganggap orang kulit berwarna (hitam, merah) sebagai kasar, bodoh, dan barbar, sehingga harus hidup secara terpisah. Gejala rasisme seperti itu nyata di Afrika Selatan era politik apartheid dan di Amerika Utara kini dalam bentuk “prasangka negatif berlebihan pada kaum non-kulit putih.”

Gejala rasisme seperti di atas, secara umum dikenal sebagai gejala superioritas ras Kaukasoid (ras putih) terhadap Mongoloid (ras kuning) dan Negroid (ras hitam). Pada skala mikro, bisa diamati kecenderungan dalam pengisian struktur organisasi perusahaan Amerika Serikat sebagai contoh: jabatan tinggi untuk ras putih, jabatan rendah untuk ras kuning dan hitam.

Ilustrasi dari iaphs.org
Ilustrasi dari iaphs.org
***

Sekarang, mari kita terapkan konsep-konsep rasisme dan humiliasi itu pada kasus unggahan Ambroncius terkait Natalius. 

Terlebih dahulu perlu ditegaskan dulu struktur interaksi Ambroncius-Natalius: antar-ras atau antar-persona? Secara spesifik bisa ditanyakan: Apakah unggahan Ambroncius didasarkan pada kesadaran bahwa dirinya adalah anggota ras Mongoloid (Malayan) yang dipersepsikannya lebih tinggi dibanding Natalius yang berasal dari ras Negroid? (Papua dan Melanesia).

Atau, pertanyaan spesifik kedua: Apakah unggahan Ambroncius mencerminkan kepentingan politik personal, dengan maksud menegasikan kepentingan politik personal dari Natalius?

Pertanyaan pertama itu mengindikasikan tindakan rasis, sedangkan pertanyaan kedua mengindikasikan tindakan humilisasi.

Celakanya, dalam kasus ini batas antara ras dan persona memang sangat potensil diterabas. Hal itu mengingat, di satu sisi, adanya gejala resistensi politik kekinian di Papua, daerah asal Natalius dan, di lain sisi, status Ambroncius sebagai anggota Tim Sukses Jokowi-Maaruf pada Pilpres lalu. 

Dengan cepat bisa terlontar kategorisasi bahwa unggahan Ambroncius itu adalah tindakan rasis yang “dikendalikan” Pemerintahan Jokowi terhadap warga Papua. Dalam kategorisasi semacam itu, Natalius telah diposisikan atau memosisikan diri sebagai representasi Papua. Lontaran kategorisasi semacam itu sudah terjadi dari pihak Natalius.

Tapi benarkah unggahan “komik strip dialog Natalius dan gorilla tentang vaksin” itu kategori tindakan rasis? Sejauh fakta yang tersedia, yaitu unggahan Ambroncius, tidak ada indikasi menjurus ke rasisme.

Tidak ada kata kunci “Papua” dalam unggahan itu. Juga, tidak ada kata, frasa, atau gambar yang secara eksplisit (positif) merendahkan ras Negroid atau khususnya etnis Papua. (Saya sengaja mengesampingkan interpretasi subyektif di sini)

Penyandingan dan dialog antara Natalius dan Gorilla, dengan demikian, bukanlah indikasi tindakan rasis sejauh tidak dimaksudkan merendahkan etnis Papua atau ras Negroid. Juga sejauh Ambroncius tidak memosisikan diri sebagai ras Mongoloid yang lebih tinggi dan punya prasangka negatif terhadap ras Negroid. 

Dengan kata lain, bisa dikatakan, tidak cukup data untuk menyimpulkan unggahan itu mengartikulasikan prasangka negatif ras Mongoloid kepada ras Negroid. Karena itu juga, tidak cukup data untuk mengkategorikan tindakan Ambroncius itu rasis.

Data yang ada, sejauh ini, hanya cukup untuk mengatakan bahwa unggahan Ambroncius merupakan tindakan humiliasi yang bersifat personal terhadap Natalius. Persona terhadap persona, bukan ras terhadap ras. 

Dasar tindakan humiliasi oleh Ambroncius itu lebih pada kepentingan politik personal, demikian juga dengan respon Natalius. Karena pemicunya adalah penolakan Natalius pada vaksinasi dengan vaksin Sinovac, dan itu kebijakan Pemerintahan Jokowi, maka jelas dengan unggahan itu Ambroncius ingin meraih poin keuntungan politik dari Jokowi.

Sebaliknya, di pihak Natalius unggahan itu secara personal menistakan, merendahkan dan, karena itu, merugikan kepentingan politik personalnya. Tapi, dengan membingkai unggahan itu dalam kategori tindakan rasis, maka Natalius bisa mendulang simpati dan dukungan. (Saya tidak membicarakan siapa yang melakukan pembingkaian itu)

Jadi, bisa dikatakan, ada indikasi bahwa kasus unggahan itu sejatinya bersifat personal tapi kemudian dipolitisasi dan diangkat ke tataran isu rasisme. Bukan sebuah kebetulan kalau Ambroncius dan Natalius adalah “pemain politik.” Mereka berdua paham betul cara menangguk manfaat politik dari sebuah isu sensitif.

***

Jika benar tindakan Ambroncius terhadap Natalius bukan tindakan rasis, melainkan humiliasi, apakah Ambroncius terbebas dari sanksi hukum dan sanksi sosial (moral)? Tidak, sama sekali tidak.

Menyandingkan manusia “seolah setaraf” dengan hewan, jelas adalah tindakan humiliasi yang jahat. Itu jelas merendahkan harkat kemanusiaan, sehingga harus dibawa ke dan diselesaikan di ranah hukum positif.

Tidak ada satu alasan pun yang membenarkan tindakan humiliasi oleh Ambroncius. Unggahannya harus dikatakan “sangat dungu dan jahat”. Sekali lagi, saya ulangi: sangat dungu dan jahat. 

Analisis dalam artikel ini tidak dimaksudkan untuk membantah, apalagi mementahkan, sangkaan tindakan rasis Ambroncius dalam proses hukum di Bareskrim Polri. Kesimpulan dalam tulisan ini juga tidak mesti diterima sebagai kebenaran mutlak. Tapi lebih sebagai hipotesis yang perlu diuji lebih ketat.

Satu hal yang perlu diperhatikan di sini, sebaiknya kita tidak punya kecenderungan untuk secara cepat dan serampangan, mengategorikan suatu tindakan yang sebenarnya humiliasi sebagai rasis. Sekarang ada kecenderungan untuk mengategorikan apapun yang bersifat diskriminatif sebagai rasis. Kecenderungan semacam itu buruk dampaknya terhadap persatuan bangsa, “bhinneka tunggal ika”, yang kita telah sepakati bersama.

Jangan pernah membiarkan kepentingan politik personal merusak kepentingan persatuan nasional. Mohon diingat, pernyataan Sumpah Pemuda 1928 pada dasarnya juga adalah pernyataan anti-rasisme.

Untuk diketahui, nasion bernama Indonesia ini dibentuk sebagai perlawanan terhadap tindakan rasis Pemerintah Kolonial Belanda, yang menempatkan pribumi di dasar stratifikasi sosial, di bawah orang Eropa, Arab, dan Cina. Jadi, jelas bahwa nasion Indonesia itu tak punya tradisi politik rasisme. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun