Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Anies, Anda Gubernur, Bukan Kadis Pariwisata

26 Januari 2021   17:02 Diperbarui: 27 Januari 2021   06:06 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pewarna-warnian atap genteng rumah di lingkar putaran tapal kuda Tanjungbarat, Jakarta Selatan (Foto: kompas.com/Dewan Kesenian Jakarta)

Apa yang bisa dikatakan jika seorang gubernur lebih sibuk menata tampilan fisik kota, ketimbang mengadministrasi peningkatan taraf dan keadilan sosial-ekonomi masyarakatnya? Jawabnya, gubernur itu sebaiknya turun menjadi Kepala Dinas Pariwisata di daerahnya. 

Ujaran itu bisa ditujukan kepada Anies Baswedan, Gubernur Jakarta hari ini (2017-2022).  Ketimbang fokus membangun masyarakat Jakarta, dia sejak awal lebih sibuk dengan urusan percantikan kota. Dalihnya, agar Jakarta indah, instagramable, lalu menarik arus wisatawan. 

Apakah ujaran itu terlalu keras? Tidak.  Ketua DPC Gerindra Jakarta Timur, Ali Lubis, lebih keras, minta Anies mundur dari jabatan Gubernur Jakarta, karena dianggap tak mampu menangani pandemi Covid-19. [1]  Itu tergolong indikasi  ketakmampuan Anies mengadministrasi kesejahteraan sosial warga Jakarta.

Jika sudah begitu, maka ujaran "Gubernur Rasa Presiden" tak lebih dari kata lain untuk "Kodok Dalam Tempurung."  Sebab jika ditelisik, ujaran yang lebih pas bagi Anies mungkin adalah "Gubernur Rasa Kadis Pariwisata."

Markilik, mari kita ulik fakta, agar tak ada tuduhan artikel ini menjelek-jelekkan Anies.  Tidak begitulah. Anies saat ini sudah jelek, dalam hal kinerjanya sebagai Gubernur Jakarta.  Artikel ini dimaksudkan sebagai kritik untuknya, agar cepat memperbaiki kinerja pemerintahannya.

Fakta Kemiskinan Jakarta

Jika ingin melihat apakah suatu pemerintahan berhasil meningkatkan taraf dan keadilan sosial-ekonomi masyarakatnya, lihatlah indikator kemiskinan. Untuk Provinsi Jakarta, jumlah penduduk miskin per Maret 2020 tercatat 480,860 jiwa atau 4.53 persen dari total penduduk. Naik  1.11 persen, tertinggi di Indonesia, dari 3.42 persen pada tahun 2019. [2]

Wagub Jakarta, Ahmad Riza Patria bilang peningkatan angka kemiskinan itu dampak Covid-19. [3] Dalih yang kurang masuk di akal karena dampak ekonomi Covid-19 secara logis baru terlihat pada bulan April 2020, bersamaan dimulainya PSBB tahap pertama pada tanggal 10 di bulan itu. Lebih tepat mengatakan peningkatan kemiskinan itu terjadi karena kegagalan pemerintah Jakarta mengadministrasi keadilan sosial bagi warga miskin sepanjang Maret 2020 sampai Maret 2020.

Jika dampak ekonomi Covid-19 dijadikan alasan, maka akan timbul pula dugaan bahwa pemerintah Jakarta tak mampu mengendalikan dampak tersebut. Padahal anggaran penanganan Covid-19 Jakarta mencapai Rp 10.7 triliun untuk tahun 2020, konon tertinggi dibanding provinsi lain. Sebesar Rp 7.6 triliun di antaranya dianggarkan untuk jaring pengaman sosial, menghindari penurunan tingkat pendapatan rumahtangga warga Jakarta. [4] Apakah Wagub Jakarta implisit bilang dana Rp 7.6 triliun justru "meningkatkan angka kemiskinan"?

Dampak ekonomi Covid-19 yang bersifat antara, penyebab langsung kemiskinan, adalah tingkat pengangguran terbuka.  Data Agustus 2020 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Jakarta mencapai 10.95 persen, tertinggi di Indonesia, juga di atas rata-rata Indonesia (7.07 persen). Angka itu naik 4.41 persen dibanding ke tahun 2019.  [5] Artinya, ada indikasi, peningkatan angka kemiskinan Jakarta berkorelasi positif dengan angka pengangguran yang tinggi akibat Covid-19.

Apa yang bisa disimpulkan?  Baik sebelum maupun semasa pandemi Covid-19, pemerintah Jakarta yang dipimpin Anies tak mampu meningkatkan taraf dan keadilan sosial-ekonomi warga lapisan bawah. Angka pengangguran yang berkorelasi positif dengan angka pengangguran adalah bukti empiris yang bikin miris.  

Jadi, Pak Anies dan Pak Riza, tak usah pura-pura heran atau menyangkal, jika Mensos Risma kebetulan menemukan beberapa orang tunawisma berkeliaran di sekitar Jalan Thamrin Jakarta. Secara acak, hal itu bisa saja tetjadi.

Fokus Mempercantik Tampilan Fisik

Janji Anies untuk mengedepankan pembangunan manusia Jakarta, bukan fisik kota, melalui pendekatan "penatalaksanaan terbuka" (open government) dulu saya anggap utopia, dan sekarang, terbukti memang utopia.  Faktanya, pemerintah Jakarta sejauh ini lebih mengedepankan pemolesan fisik kota melalui pendekatan "penatalaksanaan tertutup" (close government).

Apa buktinya?  Angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi itu adalah bukti nyata keterbelakangan pembangunan manusia Jakarta.  Rapat-rapat perencanaan tertutup dan rencana anggaran tertutup adalah bukkti "penatalaksanaan tertutup". Ketika anggota DPRD DKI kemudian menemukan kasus "pos anggaran lem aibon Rp 82.5 milyar" (2019) dan "kenaikan gaji dan tunjangan DPRD DKI sampai Rp 8.3 miliar per tahun per orang" (2020), pemerintah Jakarta kemudian mempermasalahkan keterb.ukaan.

Bukti lain kegagalan pemerintah Jakarta membangun manusia adalah kegagalan dalam pengendalian banjir dan penyediaan rumah DP Nol Rupiah. Kegagalan pengendalian banjir adalah indikasi kegagalan pengentasan warga miskin pinggir kali.  Hal itu bersambung pada ketiadaan akses warga itu pada proyek perumahan DP Nol Rupiah.  

Jika ada proses dan hasil pembangunan yang selalu dibanggakan oleh Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, maka itu adalah proyek-proyek pencantikan fisik kota.  Orientasinya bukan terutama pada fungsi ekonomi, melainkan fungsi somatik, untuk memanjakan mata saja.  

Bisa dibuat daftar panjang proyek-proyek pencantikan kota di bawah arahan Anies.  Mulai dari menggambar dan mewarnai pilar-pilar JLNT Antasari, penggalakan tiang bendera bambu, waringisasi Kali Item, pemapasan atap JPO Thamrin, pelebaran trotoar Thamrin, Kemang, dan Cikini Raya, pembangunan instalasi bambu Getah-Getih, pewarna-warnian kolong jalan layang Senen, sampai pewarna-warnian atap rumah-rumah di linkae putaran "ladam kuda ganda" di Tanjung Barat.  

Jika ada orang yang bilang proyek-proyek pencantikan itu akan meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat lapisan bawah Jakarta, maka dia perlu belajar lagi tentang hakekat pembangunan manusia.  Semua itu dilakukan semata untuk memenuhi selera artistik, kalau benar itu artistik, dari Anies Baswedan selaku Gubernur Jakarta.  Dalihnya, pemerintah hendak mempersembahkan Jakarta yang cantik, Jakarta yang instagramable, untuk warga  agar mereka bahagia.  Ah, Gubernur Anies bisa saja pertunjukkan pada saya sebuah rumah yang cantik, tapi saya tak akan bahagia karena rumah itu bukan bukan milikku dan kecantikannya tak mengenyangkanku.

Anies tampaknya memang terobsesi dengan label "Yang Pertama" (The First). Agaknya, dia percaya hal seperti itu bisa membentuk opini bahwa dirinya adalah gubernur terdepan, tersohor, sehingga layak dan  pantas maju ke kursi presiden.  Anies sangat bangga mengatakan "putaran ladam kuda ganda pertama di Indonesia."  Juga dulu bangga bilang "balapan F4 pertama di Indonesia," "instalasi bambu pertama di titik pusat Jakarta," "rumah DP Nol Rupiah pertama di Indonesia," dan lain sebagainya.

Tidak, Pak Anies.  Itu semua tidak menjadikan Anda pantas dan layak menjadi Presiden RI tahun 2024.  Bahkan tidak juga pantas untuk sekadar dijuluki "Gubernur Rasa Presiden."  Itu semua, proyek percantikan kota itu, hanya menjadikan Anda pantas menjadi Kepala Dinas Pariwisata (dan Kebudayaan) Jakarta.  Atau sekurangnya mungkin bisa disebut "Gubernur Rasa Kadis Pariwisata"?

Jika Pak Anies masih berambisi maju dalam helatan Pilgub 2022 dan kemudian lompat ke Pilpres 2024, maka tiga pekerjaan besar ini perlu dituntaskan sesukses mungkin. Pertama, pengurangan jumlah pengangguran dan penduduk miskin Jakarta hingga pada angka taksignifikan.  Mereka ada dan nyata, tak perlu diingkari.

Kedua, pengendalian banjir Jakarta dengan fokus normalisasi (bukan naturalisasi) sungai-sungai besar Jakarta dan pembangunan tanggul pantai utara.  Jangan lagi menilai pekerjaan Pemerintah Pusat membangun dam di daerah hulu.

Ketiga, penanganan pandemi Covid-19 berikut segala dampaknya secara intensif dan terpadu (vertikal dan horizontal) hingga warga Jakarta tiba pada titik "aman dari Covid-19." Sampai hari ini, Jakarta adalah pemuncak untuk ukuran dampak Covid-19 itu.

Pak Anies jangan pernah menyerahkan tanggungjawab penanggulangan tiga masalah besar itu ke Pemerintah Pusat. Sebab jika itu sampai dilakukan, maka Ali Lubis tidak berlebihan meminta  Anda untuk mundur dari jabatan Gubernur Jakarta.  Atau, mungkin, akan menyandang julukan baru, "Gubernur Rasa Kadis Pariwisata"?

Anda masih Gubernur Jakarta, Pak Anies. Jangan lupa itu. (*)

 

Rujukan:                            

[1] "Ketua DPC Gerindra Ali Lubis Minta Anies Mundur," kompas.tv, 25.01.2021.

[2] "BPS: Kemiskinan di Jakarta Naik 1,1% dan Tertinggi di RI," cnbcindonesia.com, 16.07.2020.

[3] "Angka Kemiskinan di Jakarta Naik 1,11 Persen Akibat Pandemi Covid-19," liputan6.com, 22.10.2021.

[4] "Anggaran Penanganan Covid-19 DKI Jakarta Rp 10.7 Triliun, Terbanyak untuk Jaring Pengaman Sosial," kompas.com, 29.04.2020.

[5]  "Jakarta Jadi Provinsi dengan Pengangguran Terbanyak di Indonesia," kompas.com, 5.11.2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun