Jadi, Pak Anies dan Pak Riza, tak usah pura-pura heran atau menyangkal, jika Mensos Risma kebetulan menemukan beberapa orang tunawisma berkeliaran di sekitar Jalan Thamrin Jakarta. Secara acak, hal itu bisa saja tetjadi.
Fokus Mempercantik Tampilan Fisik
Janji Anies untuk mengedepankan pembangunan manusia Jakarta, bukan fisik kota, melalui pendekatan "penatalaksanaan terbuka" (open government) dulu saya anggap utopia, dan sekarang, terbukti memang utopia. Â Faktanya, pemerintah Jakarta sejauh ini lebih mengedepankan pemolesan fisik kota melalui pendekatan "penatalaksanaan tertutup" (close government).
Apa buktinya? Â Angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi itu adalah bukti nyata keterbelakangan pembangunan manusia Jakarta. Â Rapat-rapat perencanaan tertutup dan rencana anggaran tertutup adalah bukkti "penatalaksanaan tertutup". Ketika anggota DPRD DKI kemudian menemukan kasus "pos anggaran lem aibon Rp 82.5 milyar" (2019) dan "kenaikan gaji dan tunjangan DPRD DKI sampai Rp 8.3 miliar per tahun per orang" (2020), pemerintah Jakarta kemudian mempermasalahkan keterb.ukaan.
Bukti lain kegagalan pemerintah Jakarta membangun manusia adalah kegagalan dalam pengendalian banjir dan penyediaan rumah DP Nol Rupiah. Kegagalan pengendalian banjir adalah indikasi kegagalan pengentasan warga miskin pinggir kali. Â Hal itu bersambung pada ketiadaan akses warga itu pada proyek perumahan DP Nol Rupiah. Â
Jika ada proses dan hasil pembangunan yang selalu dibanggakan oleh Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, maka itu adalah proyek-proyek pencantikan fisik kota. Â Orientasinya bukan terutama pada fungsi ekonomi, melainkan fungsi somatik, untuk memanjakan mata saja. Â
Bisa dibuat daftar panjang proyek-proyek pencantikan kota di bawah arahan Anies. Â Mulai dari menggambar dan mewarnai pilar-pilar JLNT Antasari, penggalakan tiang bendera bambu, waringisasi Kali Item, pemapasan atap JPO Thamrin, pelebaran trotoar Thamrin, Kemang, dan Cikini Raya, pembangunan instalasi bambu Getah-Getih, pewarna-warnian kolong jalan layang Senen, sampai pewarna-warnian atap rumah-rumah di linkae putaran "ladam kuda ganda" di Tanjung Barat. Â
Jika ada orang yang bilang proyek-proyek pencantikan itu akan meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat lapisan bawah Jakarta, maka dia perlu belajar lagi tentang hakekat pembangunan manusia.  Semua itu dilakukan semata untuk memenuhi selera artistik, kalau benar itu artistik, dari Anies Baswedan selaku Gubernur Jakarta.  Dalihnya, pemerintah hendak mempersembahkan Jakarta yang cantik, Jakarta yang instagramable, untuk warga  agar mereka bahagia.  Ah, Gubernur Anies bisa saja pertunjukkan pada saya sebuah rumah yang cantik, tapi saya tak akan bahagia karena rumah itu bukan bukan milikku dan kecantikannya tak mengenyangkanku.
Anies tampaknya memang terobsesi dengan label "Yang Pertama" (The First). Agaknya, dia percaya hal seperti itu bisa membentuk opini bahwa dirinya adalah gubernur terdepan, tersohor, sehingga layak dan  pantas maju ke kursi presiden.  Anies sangat bangga mengatakan "putaran ladam kuda ganda pertama di Indonesia."  Juga dulu bangga bilang "balapan F4 pertama di Indonesia," "instalasi bambu pertama di titik pusat Jakarta," "rumah DP Nol Rupiah pertama di Indonesia," dan lain sebagainya.
Tidak, Pak Anies. Â Itu semua tidak menjadikan Anda pantas dan layak menjadi Presiden RI tahun 2024. Â Bahkan tidak juga pantas untuk sekadar dijuluki "Gubernur Rasa Presiden." Â Itu semua, proyek percantikan kota itu, hanya menjadikan Anda pantas menjadi Kepala Dinas Pariwisata (dan Kebudayaan) Jakarta. Â Atau sekurangnya mungkin bisa disebut "Gubernur Rasa Kadis Pariwisata"?
Jika Pak Anies masih berambisi maju dalam helatan Pilgub 2022 dan kemudian lompat ke Pilpres 2024, maka tiga pekerjaan besar ini perlu dituntaskan sesukses mungkin. Pertama, pengurangan jumlah pengangguran dan penduduk miskin Jakarta hingga pada angka taksignifikan. Â Mereka ada dan nyata, tak perlu diingkari.