Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kebelet Viral, Tirulah Pandji Pragiwaksono

23 Januari 2021   17:11 Diperbarui: 24 Januari 2021   15:30 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pandji Pragiwaksono, Komedian (Foto: tribunnews.com)

Jujur, saya langsung teringat pada fabel "Katak yang Sombong" saat menonton dan membaca tentang Pandji Pragiwaksono yang membuat komparasi antara FPI dan NU serta Muhammadyah. Intinya, dengan menyitir Thamrin A. Tomagola seenak udel, Pandji bilang  FPI dekat rakyat sedangkan NU dan Muhammadiyah tidak. Lagi, tokoh FPI merakyat sedangkan tokoh NU dan Muhammadiyah elitis.

Lha, apa kaitannya dengan "Katak yang Sombong." Begini.  Fabel itu mengisahkan seekor katak yang -- karena kelamaan meraja di dunia tempurung -- merasa dirinya sama besar dengan seekor sapi. Untuk membuktikan itu, digelembungkannyalah perutnya melewati daya regang sehingga meletus. Matilah kau, Katak Sombong.

Belum paham juga? Baik. Mari kita lihat konteks komunikasi saat komparasi itu dilakukan. Konteksnya, dalam kapasitas sebagai seorang komedian,  Pandji sedang melawak.  Saat melontarkan komparasi itu, bisa ditafsir, dia sedang mengatakan bahwa FPI itu sejatinya ibarat  "katak yang sombong." Merasa dirinya sama besar dengan NU dan Muhammadiyah.  Kita tahu, FPI kemudian menemui akhir yang tragis: "Mati" (dalam "rebusan").

Itu humor satiris tingkat tinggi. Butuh kemampuan berpikir kenthir untuk mampu menangkap sisi humor yang terselubung, untuk kemudian  terlonjak membahak tawa.  Tak banyak yang mampu menangkap inti humor Pandji itu. Tapi beruntung saya kenal seorang, Daeng Khrisna Pabichara, seorang Muhammadiyah sejati. Gelak tawa Daeng Khrisna bisa dinikmati pad artikel "Pandji Pragiwaksono Ngocol, Kader NU dan Muhammadiyah Senyum." (K.21.91.20)

Pandji menggunakan dua bentuk sesat logika untuk membangun humor satirisnya.  Komparasi taksetara dan peminjaman otoritas.  Keduanya tergolong pseudosains yang memberi kesan ilmiah. Padahal tak lebih dari kamuflase. 

Pembandingan FPI dengan NU dan Muhammadiyah, seperti dilakukan Pandji, adalah komparasi taksetara.  Dari segi sejarah, usia, idiologi, bidang kegiatan, kinerja,skala organisasi, dan kontribusi terhadap pembangunan nasional, jelas FPI sangat jauh, terlalu jauh, di bawah dua otganisasi Islam terbesar di Indonesia itu.  NU dan Muhammadiyah adalah kekuatan pembangunan nasional. Sedangkan FPI fokus memperjuangkan khilafah menurut persepsi tokoh-tokohnya.

Komparasi FPI dengan NU dan Muhammadiyah dengan demikian adalah sebuah kegagalan berpikir logis.  Mengatakan FPI lebih maslahat, ketimbang NU dan Muhammadiyah, karena bisa bikin surat sakti untuk memasukkan anak miskin ke sekolah dan membantu orang miskin masuk rumah sakit adalah sesat logika. Sebab NU dan Muhammadiyah tak bikin surat sejenis, tapi membangun sekolah dan balai pengobatan untuk rakyat Indonesia.

Itu bisa disebut sebagai "Sindrom Katak Sombong". Baru bisa sebatas mengeluarkan katabelece lokal lalu, karena katabelecenya "sakti", kinerja kerakyatan FPI  langsung dianggap melebihi NU dan Muhammadiyah yang sudah ikut membangun secara nasional. Satire yang  amat lucu,  bukan? Itu sebabnya umat NU dan Muhammadiyah yang cerdas tertawa terbahak-bahak.

Komparasi taksetara itu kemudian dipagari Pandji dengan meminjam otoritas seorang Profesor, Thamrin A. Tomagola, yang pernah diwawancarainya tahun 2012. Waktu itu Prof. Thamrin bilang FPI memberi perhatian khusus pada orang miskin kota yang bukan merupakan target grup NU dan Muhammadiyah.  Ujaran Prof. Thamrin itu kemudian dicomot Pandji dari konteks dan masanya, lalu seenaknya digunakan sebagai dasar penyimpulan elitisme NU dan Muhammadiyah. 

Detail ujaran Prof. Thamrin itu sudah dibabar jelas oleh Daeng Khrisna dalam artikel tinanggap, "Tafsir Menir Pandji Ditampik Profesor Tamrin Tomagola" (K.23.01.21).  Karena itu saya hanya perlu menjelaskan perujukan oleh Pandji itu tergolong sesat logika jenis pinjam otoritas.

Ada dua masalah yang harus terang di situ. Pertama, ujaran Prof. Thamrin tentang peran FPI membantu orang miskin kota harus dipertanyakan validitas atau kredibilitasnya. Apakah itu diujarkan berdasar  hasil riset sosial ilmiah, atau hanya opini yang terbentuk dari kebiasan  membaca surat kabar atau menonton televisi? 

Kedua, apakah Prof. Thamrin benar mengungkap peran FPI itu dalam rangka perbandingan  dengan NU dan Muhammadiyah yang dinilainya jauh dari rakyat, khusysnya rakyat miskin perkotaan?

Ketiga, jika di bawa ke konteks sosial-politik masa kini (2020-2021), apakah pernyataan Prof. Thamrin yang disampaikan tahun 2012 itu madih relevan?

Saya menduga, pernyataan itu adalah opini Prof. Thamrin tentang FPI tahun 2012, tak membanding dengan NU dan Muhammadiyah, dan tak relevan dipinjam untuk menilai FPI tahun 2020-2021. Karena itu Pandji sebenarnya telah meminjam otoritas keprofesoran Prof. Thamrin,  bukan pernyataannya yang tak lagi valid itu, untuk memagari pandangannya tentang "kebaikan" FPI. 

Langkah pembandingan dengan NU dan Muhammadiyah tak lebih dari cara sesat untuk mengglorifikasi "kebaikan" FPI. Sekaligus untuk "menyalahkan" pemerintah yang melarang seluruh aktivitas FPI.

Dua pendekatan itu, komparasi taksetara dan peminjaman otoritas, terbukti telah melontarkan Pandji ke tataran isu viral di jagad maya. Memang itulah yang diharapkannya: viral dengan humor satiris tentang FPI yang, secara terselubung, diposisikan sebagai "Katak yang Sombong."

Cara Pandji itu, menurut hemat saya, bagus untuk ditiru oleh siapapun yang kebelet viral dengan cara yang tak etis. Tak etis, karena dalam kasus itu, Pandji sejatinya telah merendahkan enam pihak sekaligus: FPI, NU, Muhammadiyah,  Prof. Thamrin A  Tomagola, warganet pengakses, dan dirinya sendiri.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun