Kedua, apakah Prof. Thamrin benar mengungkap peran FPI itu dalam rangka perbandingan  dengan NU dan Muhammadiyah yang dinilainya jauh dari rakyat, khusysnya rakyat miskin perkotaan?
Ketiga, jika di bawa ke konteks sosial-politik masa kini (2020-2021), apakah pernyataan Prof. Thamrin yang disampaikan tahun 2012 itu madih relevan?
Saya menduga, pernyataan itu adalah opini Prof. Thamrin tentang FPI tahun 2012, tak membanding dengan NU dan Muhammadiyah, dan tak relevan dipinjam untuk menilai FPI tahun 2020-2021. Karena itu Pandji sebenarnya telah meminjam otoritas keprofesoran Prof. Thamrin, Â bukan pernyataannya yang tak lagi valid itu, untuk memagari pandangannya tentang "kebaikan" FPI.Â
Langkah pembandingan dengan NU dan Muhammadiyah tak lebih dari cara sesat untuk mengglorifikasi "kebaikan" FPI. Sekaligus untuk "menyalahkan" pemerintah yang melarang seluruh aktivitas FPI.
Dua pendekatan itu, komparasi taksetara dan peminjaman otoritas, terbukti telah melontarkan Pandji ke tataran isu viral di jagad maya. Memang itulah yang diharapkannya: viral dengan humor satiris tentang FPI yang, secara terselubung, diposisikan sebagai "Katak yang Sombong."
Cara Pandji itu, menurut hemat saya, bagus untuk ditiru oleh siapapun yang kebelet viral dengan cara yang tak etis. Tak etis, karena dalam kasus itu, Pandji sejatinya telah merendahkan enam pihak sekaligus: FPI, NU, Muhammadiyah, Â Prof. Thamrin A Â Tomagola, warganet pengakses, dan dirinya sendiri.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H