"Jika kamu kaya maka kamu lebih mudah berbuat baik. (Karena kamu tak membenci dunia lagi.) Â Jika kamu miskin maka kamu lebih sulit berbuat baik. (Karena kamu sibuk membenci dunia.)
Itu ujaran Nadin Amizah, Â penyanyi milenial sohor, dalam satu nomor siniar Deddy Corbuzier. Â Redaksinya saya ubah, untuk memudahkan pemeriksaan cacat logika dalam ujaran itu.
Tapi saya tak hendak membahas soal cacat logika itu di sini. Â Daeng Khrisna Pabichara sudah membongkarnya (dalam artikel tinanggap,"Mengapa Nadin Amizah Dirisak dan Dirujak oleh Warganet", K. 10.01.2021 ). Â
Intinya, ulas Daeng Khrisna, kekayaan tidak dengan sendirinya memudahkan perbuatan baik. Â Juga bukan alasan untuk tak membenci dunia. Â Sebaliknya, kemiskinan tidak dengan sendirinya menyulitkan perbuatan baik. Â Juga bukan alasan untuk membenci dunia.
Daeng Khrisna benar belaka saat berujar ranah kebaikan itu tak semata ekonomi, tapi juga sosial. Â Bahkan juga ekologi, jika sudi melebar-lebarkan ranah.
Kebaikan itu multi-dimensional sebagai cermin dari manusia yang mestinya juga multi-dimensional. Tapi, saya pikir, persis di situlah letak persoalannya. Ujaran Nadin itu mencerminkan dirinya yang monodimensi. Â Hanya berdimensi ekonomi, Homo economicus. Â
Tapi ketimbang merisak dan merujak Nadin, saya memilih untuk melihatnya sebagai persoalan kemanusiaan yang perlu dipikirkan solusinya. Merisak itu hanya bikin sakit hati, sedangkan merujak bikin sakit perut.
Kerisauanku, gejala manusia monodimensi ekonomi itu mungkin memang telah menghinggapi sebagian dari milenial kita. Â Saya bilang, sebagian, bukan semua. Â Barangkali saja, dan semoga demikian, milenial perisak yang menuduh Nadin merendahkan kaum miskin, tidaklah seperti itu.
Mungkin itu buah dari pilihan negara untuk mengangkat ekonomi sebagai panglima. Â Bahkan juga di masa pandemi. Kalau itu benar, maka manusia Indonesia monodimensi ekonomi sudah dibangun sejak 1970-an. Â Jadi, bukan gejala kemarin sore.
Hasilnya memang tampak lebih nyata kini. Â Dalam bentuk tindakan reifikasi, mengukur segala sesuatu dari dimensi kebendaan, pemilikan ekonomi. Kaya itu berarti punya deposito milyaran, rumah mewah dan properti seabrek, kendaraan mewah sehanggar, tanah sekabupaten, dan lain sebagainya.Â
Itu membentuk persepsi milenial tentang tujuan kerja. Â Kerja itu untuk kaya raya. Â Persepsi ini tentu mengingatkan kita pada seorang sarjana segar dari UI yang meremehkan gaji Rp 8 juta per bulan.Â
Juga mengingatkan kita pada gejala mobilisasi milenilal ke wilayah ekonomi kreatif, khususnya kapitalisasi medsos termasuk YouTube untuk menangguk uang. Â Tak perlu hirau pada etika dan empati sosial. Sebab uanglah tujuan sekaligus alat hidup.
Jika kamu milenial kaya-raya, kamu boleh berdugem sampai mabuk, lalu berkendara untuk kemudian menabrak orang-orang di trotoar atau di dalam angkot sampai mati. Tak usah takut masuk penjara, sebab uangmu bisa membebaskanmu.
Pembentukan persepsi itu tentu tak seketika. Perilaku orangtua kaum milenial itu adalah teladan terbaik. Â Kalau orangtua berpikir hanya untuk menjadi kaya dan lebih kaya, maka tidak ada alasan anaknya untuk tidak demikian juga. Â Â
Pada ujung ekstrim, bahkan pikiran itu diwujudkanmelalui suatu tindakan amoral, korupsi. Dan lihatlah, adakah orangtua malu saat diborgol KPK sebagai koruptor? Â Dan apakah anggota keluarganya malu?Â
Tidak. Â Menjadi koruptor tidak perlu malu, kalau itu sungguh membuatmu kaya raya. Â Penjara dan denda korbanan kecil untuk manfaat besar yang telah dinikmati. Â Lihatlah, betapa manusia monodimensi ekonomi itu telah kehilangan rasa malu.Â
Begitulah, manusia monodimensi ekonomi itu kaya secara ekonomi. Tapi menderita kemiskinan sosial. Tak punya empati sosial. Sebagaimana tersingkap dalam konteks pandemi kini.
Jadi, jika Nadin sekarang tampil sebagai manusia monodimensi ekonomi, gandrung reifikasi, maka akar masalahnya harus digali sampai awal 197o-an. Â Ketika Presiden memilih ekonomi sebagai panglima pembangunan nasional. Â Dan itu terjadi hingga hari ini.
Karena itu, saya pikir tidak adil untuk merisak atau bahkan menghakimi Nadin karena ujaran atau pun sikapnya itu. Seorang Nadin bukan semata bentukan dirinya sendiri. Â Dia adalah hasil bentukan keluarga, komunitas, masyarakat, dan negaranya. Â Bahkan, bisa dibilang, dia adalah buah pembangunan nasional kita. Â
Saya pikir tanggungjawab negaralah, baru kemudian masyarakat, untuk mengoreksi pola pembangunan manusia Indonesia. Berhentilah menjadikan ekonomi sebagai panglima. Â Mulailah fokus juga pada pembangunan aspek-aspek sosial dan ekologis manusia. Â Untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, sekurangnya dalam pengertian manusia multidimensional.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan cerita sederhana. Â Sewaktu kuliah dulu, saya menulis paper buruk tapi mendapat nilai A dari dosen, sama dengan nilai paper bagus anggitan seorang rekan. Â Saat rekan itu menggugat, dosen berkata dengan bijak, "Saya menilai tingkat kemajuan berpikir kalian, bukan hasil akhir pemikiran kalian."
Ujaran bijak itu, saya pikir, Â pantas pula disampaikan kepada Nadin, juga milenial dan pra-milenial yang berpola pikir sama. Â Nadin, juga Nadin-Nadin lain, masih punya banyak waktu dan energi untuk mengalih-ragam diri, dari manusia monodimensional ekonomi menjadi manusia multidimensional. Â
Beberapa tahun ke depan, jika Nadin tampil lagi dalam siniar Deddy Corbuzier, maka kita berharap ujaran-ujarannya sudah mencerminkan dirinya sebagai manusia multidimensional. Â Itu bisa menjadi pecut bagi para orangtua, pra-milenial, yang tegar tengkuk, getol berketiak-ular jika dituntut untuk memperbaiki diri.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H