Juga mengingatkan kita pada gejala mobilisasi milenilal ke wilayah ekonomi kreatif, khususnya kapitalisasi medsos termasuk YouTube untuk menangguk uang. Â Tak perlu hirau pada etika dan empati sosial. Sebab uanglah tujuan sekaligus alat hidup.
Jika kamu milenial kaya-raya, kamu boleh berdugem sampai mabuk, lalu berkendara untuk kemudian menabrak orang-orang di trotoar atau di dalam angkot sampai mati. Tak usah takut masuk penjara, sebab uangmu bisa membebaskanmu.
Pembentukan persepsi itu tentu tak seketika. Perilaku orangtua kaum milenial itu adalah teladan terbaik. Â Kalau orangtua berpikir hanya untuk menjadi kaya dan lebih kaya, maka tidak ada alasan anaknya untuk tidak demikian juga. Â Â
Pada ujung ekstrim, bahkan pikiran itu diwujudkanmelalui suatu tindakan amoral, korupsi. Dan lihatlah, adakah orangtua malu saat diborgol KPK sebagai koruptor? Â Dan apakah anggota keluarganya malu?Â
Tidak. Â Menjadi koruptor tidak perlu malu, kalau itu sungguh membuatmu kaya raya. Â Penjara dan denda korbanan kecil untuk manfaat besar yang telah dinikmati. Â Lihatlah, betapa manusia monodimensi ekonomi itu telah kehilangan rasa malu.Â
Begitulah, manusia monodimensi ekonomi itu kaya secara ekonomi. Tapi menderita kemiskinan sosial. Tak punya empati sosial. Sebagaimana tersingkap dalam konteks pandemi kini.
Jadi, jika Nadin sekarang tampil sebagai manusia monodimensi ekonomi, gandrung reifikasi, maka akar masalahnya harus digali sampai awal 197o-an. Â Ketika Presiden memilih ekonomi sebagai panglima pembangunan nasional. Â Dan itu terjadi hingga hari ini.
Karena itu, saya pikir tidak adil untuk merisak atau bahkan menghakimi Nadin karena ujaran atau pun sikapnya itu. Seorang Nadin bukan semata bentukan dirinya sendiri. Â Dia adalah hasil bentukan keluarga, komunitas, masyarakat, dan negaranya. Â Bahkan, bisa dibilang, dia adalah buah pembangunan nasional kita. Â
Saya pikir tanggungjawab negaralah, baru kemudian masyarakat, untuk mengoreksi pola pembangunan manusia Indonesia. Berhentilah menjadikan ekonomi sebagai panglima. Â Mulailah fokus juga pada pembangunan aspek-aspek sosial dan ekologis manusia. Â Untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, sekurangnya dalam pengertian manusia multidimensional.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan cerita sederhana. Â Sewaktu kuliah dulu, saya menulis paper buruk tapi mendapat nilai A dari dosen, sama dengan nilai paper bagus anggitan seorang rekan. Â Saat rekan itu menggugat, dosen berkata dengan bijak, "Saya menilai tingkat kemajuan berpikir kalian, bukan hasil akhir pemikiran kalian."
Ujaran bijak itu, saya pikir, Â pantas pula disampaikan kepada Nadin, juga milenial dan pra-milenial yang berpola pikir sama. Â Nadin, juga Nadin-Nadin lain, masih punya banyak waktu dan energi untuk mengalih-ragam diri, dari manusia monodimensional ekonomi menjadi manusia multidimensional. Â