Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Terbukti Cinta Tak Pernah Mengenyangkan

13 Januari 2021   15:14 Diperbarui: 13 Januari 2021   20:37 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari cermati.com

Jijay banget rasanya.  Saya harus menulis artikel kategori "Love" ini.  Seperti anak SMP yang keranjingan berbagi kisah kasih pada Di, Ary, atau Diary. Ini penghianatan pada Sang Umur namanya.

Daeng Khrisna Pabichara.  Dialah sumber dari segala sumber ke-jijay-an ini.  Kalau saja dia tak membahas ungkapan "Cinta menyenangkan tapi tak mengenyangkan", saya tak akan pernah menulis tanggapan ini.

Sebenarnya, saya bisa saja melempar tanggungjawab pada Pak Tjip, pencetus ungkapan pemicu gempar itu.  Toh, saya bisa menjadikan diri sebagai korban "nasihat" Pak Tjip, tetua kita di "Kampung Besar" Kompasiana ini. Lalu saya tinggal bilang, dengan nada memelas, kepada Daeng Khrisna, "Lho, kenapa namaku dibawa-bawa, saya ini, kan, cuma korban."

Sialnya, seperti halnya Poltak, bukan tipeku untuk playing victim. Kata Romo Eko Wahyu, OSC, pengkotbah favoritku,  playing victim itu tanda tak bertanggungjawab.  

Saya teramat setuju itu.  Itu sebabnya saya menolak memilih capres dan cagub yang "cerdik" (cerdas-licik) playing victim. Lalu memilih untuk head to head saja dengan Daeng Khrisna, nabi munsyi terkasih yang tengil mencerdaskan itu.

Lagi pula, berlaku dalil "siapa yang bicara dia yang bertanggungjawab".  Saya yang mengujarkan "kata mutiara" itu kepada Daeng Khrisna, maka saya pula yang harus bertanggungjawab.  Dosa kalau minta Pak Tjip bertanggungjawab.

Begini.  Menjawab Daeng Khrisna, saya akan membedah ungkapan "Cinta menyenangkan tapi tak mengenyangkan" dengan menggunakan metode silogisme.  Ini keahlian Daeng Khrisna, sebenarnya.

Ungkapan itu penggabungan dua kalimat dengan konjungsi "tapi", penegas kontradiksi. (Betul, kan, ini keahlian Daeng Khrisna.) "Cinta menyenangkan," dan "Cinta tak mengenyangkan." Dalam bentuk silogisme, "Jika cinta maka senang" dan "Jika cinta maka tidak kenyang."  

Itu tadi dua bentuk silogisme "Jika A maka B" yang bersifat eksklusif.  Tidak bisa disimpulkan: "Senang menyebabkan tidak kenyang."

Daeng Khrisna membantah ungkapan itu dengan membangun silogisme baru, "Jika A maka B jika B maka C."  Dia memberi contoh: "Jika cinta pada makanan maka senang pada makanan.  Jika senang pada makanan maka makan kenyang."  

Hei, yang bikin kenyang itu makanan, bukan cinta. Itupun, makanannya harus dimakan dulu sebanyak mungkin.  Tapi itu jelas namanya congok, bukan cinta.

Saya pikir, ada "konsep antara" yang ditambahkan dalam silogisme a'la Daeng Khrisna.  Begini: "Jika cinta maka senang (makanan), jika senang (makanan) maka makan banyak, jika makan banyak maka kenyang."  "Makan banyak" adalah konsep antara yang ditambahkan.  

Tapi apakah benar rasa cinta atau senang pada makanan otomatis menyebabkan seseorang makan banyak sehingga kenyang?  

Tidak, Kawan!  Ada prasyaratnya. Harus punya uang untuk menyediakan makanan yang disenangi itu. Atau, dengan berputih mata, harus pergi ke resepsi perkawinan dengan modal pakaian batik cetak dan amplop berisi Rp 10,000.  Sadis!

Itu sanggahan untuk tesis Daeng Khrisna bahwa "Cinta mengenyangkan lahir".  

Berikutnya, sanggahan untuk tesisnya bahwa   "Cinta mengenyangkan batin." 

Kata Daeng Khrisna, "Cinta melahirkan semangat dan tabah.  Semangat dan tabah adalah makanan batin yang mengenyangkan batin." 

Aih, argumen kurangajar yang cerdas banget.  Dia paham betul, saya punya keyakinan, "Manusia tak hanya hidup dari roti tapi juga dari Sabda."  Dia pikir, Engkong Felix kena skak mat.

Bah! Jangan sukaria dulu, Daeng. Betul bahwa "makan cinta itu mengenyangkan batin."  Tapi, apa jadinya jika kenyang batin tapi lapar lahir? 

Coba pikirkan kalimat dungu dalam novel-novel picisan ini:  "Makan tak kenyang, tidur tak nyenyak. Karena cinta."  Itu benar secara empiris untuk anak SMP dan SMA. 

Nah, terbukti sudah,  "Cinta tak bikin kenyang lahir."  Sekalipun sudah makan sebanyak-banyaknya. Tetap saja tak kenyang dan, karena itu, tak nyenyak. Jatuh sakit, deh, ujungnya.  

Lagi pula, tak ada orang yang pernah kenyang dengan cinta.  Kalau ada yang bilang dia kenyang dengan cinta, maka dia tak perlu cinta lagi, bukan? Cinta itu adalah kategori "mau lagi dan lagi."

Tapi ada satu kalimat Daeng Khrisna yang tak terbantahkan: "Percayalah pada pengharapan dan biarkan Tuhan mengurapi sisa hidup Anda."  

Betul, hidup itu adalah sinergi "Iman, Kasih, dan Harapan, dan yang Terbesar adalah Kasih."  Kasih itu Cinta, manifestasi Iman dan Harapan.  Tanpa Cinta maka tak punya Iman dan tak punya Harapan.

Maksudnya jelas.  Jika Poltak mengaku mencintai isteri dan anak-anaknya, maka hal itu harus dibuktikan dengan fakta isteri dan anak-anaknya yang sehat jasmani dan rohani.  Karena cinta diwujudkan dalam kerja keras, mencari nafkah lahir dan memenuhi nafkah batin isteri dan anak-anak. Sederhananya, begitulah.

Aih, kenapa saya mendadak bersemangat bicara soal cinta, ya.  Terasa menjijaykan, aku di sini. Harus berhenti sebelum jatuh lebay. Bisa membayangkan muka seseorang yang jijay lebay? (Ya, benar, macam muka jomlo jablay.)

Saya pikir, aku harus berkirim surat kepada Admin K, agar mulai besok kategori "Love" dihapuskan dari Kompasiana.  Saya sudah cukup kehilangan Daeng Khrisna yang doyan tersesat di mari.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun