Seusai membaca artikel rekan Ronny R. Noor ("Terobosan Teknologi Pengeditan Gen, Bagaimana Indonesia Mengadopsinya", K. 08/01/2021), saya teringat pada suatu diskusi ketahanan pangan tahun 2016 di Magelang.
Dalam diskusi itu, perwakilan petani kesal pada industri pupuk yang tak bisa memitigasi kelangkaan pupuk di lapangan. Sementara perwakilan industri pupuk menguar alasan kendala teknis birokrasi dan pertimbangan bisnis. Â
Agak dongkol pada diskusi tanpa solusi, mewakili industri/petani benih saya bilang, "Suatu saat kami akan menciptakan varietas padi anti-pupuk dan anti-pestisida." Dengan enteng, perwakilan industri pupuk membalas, "Gak masalah, kami akan ekspor pupuk, lebih menguntungkan."
Walau dengan nada dongkol, saya sebenarnya tidak asal bunyi waktu itu. Sedikitnya ada dua dasar ujaran itu. Â
Pertama, pengalaman pertanian alami Masanobu Fukuoka, bapak pertanian alami, di Jepang. Masanobu membuktikan, setelah 20 tahun, produktivitas padi tanpa pupuk dan tanpa pestisida bisa menyamai produktivitas padi sarat pupuk dan pestisida kimiawi. Â
Logika saya, keturunan keduapuluh (F20) padi dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tanah tanpa pupuk kimiawi dan cekaman biotik tanpa pestisida kimiawi. Artinya, cukup berdamai dengan alam, maka kita bisa menghasilkan benih padi anti-pupuk dan anti-pestisida.
Kedua, pencapaian target ketahanan pangan dunia tahun 2050 akan terkendala oleh empat masalah dasar pertanian yaitu keterbatasan air, keterbatasan lahan, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan, dan perubahan iklim global. Â
Secara khusus, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan, terutama phosfat, akan menekan produksi pupuk kimia. Â Lalu perubahan iklim global memicu timbulnya hama dan penyakit baru. Â
Cara paling strategis untuk mengatasi keempat kendala itu adalah menghasilkan benih padi unggul yang hemat air, adaptif di lahan marginal (tak perlu pupuk kimia), dan tahan cekaman biotik (tak perlu pestisida).
Ditunggu Petani
Tahun 2017-2018 saya melihat harapan baru pada teknologi rekayasa genetika. Teknologi ini bisa menghasilkan varietas padi anti-pupuk dan anti-pestisida. Â
Dalam dua tahun itu saya terlibat dalam beberapa kali diskusi penyusunan naskah Peta Jalan Produk Rekayasa Genetik Pertanian. Diskusi itu diprakarsai Kemenko Perekonomian. Saya pikir, dengan menyisipkan gen tanaman lain pada tanaman padi, bisalah dihasilkan varietas padi unggul yang mampu mengatasi empat kendala produksi tadi.
Sayangnya, Produk Rekayasa Genetik (PRG) sejauh ini masih tetap menjadi kontroversi di Indonesia. Kendati sudah lulus uji aman bagi manusia (pangan), aman bagi ternak (pakan), dan aman bagi lingkungan misalnya, tidak serta-merta juga produksi benih PRG bisa dilakukan. Belum tentu semua stakeholder pertanian mau menerimanya.
Sejauh ini tanaman PRG yang sudah lulus aman dari Komisi Keamanan Hayati PRG barulah tebu NXI-4T Toleran Kekeringan. Tebu PRG hasil riset kerjasama PTPN XI, Ajinomoto dan Universitas Jember ini lolos uji tahun 2013 dan sudah dibudidayakan PTPN XI di Jawa Timur.
Akhir tahun lalu, saya sempat ikut berbicara dalam Webinar Teknologi Perbenihan Padi yang diprakarsai LIPI. Dari diskusi yang berlangsung, saya mendapat informasi bahwa penelitian untuk inovasi padi PRG masih tetap dijalankan oleh LIPI dan IRRI. Â
LIPI misalnya sudah menghasilkan beberapa varietas padi PRG yang tahan cekaman biotik dan abiotik tertentu. Misalnya padi tahan wereng dan tahan salinasi. IRRI sendiri sedang berkutat dengan riset padi PRG dengan kandungan gizi tertentu. Tujuannya untuk menekan defisiensi unsur gizi.
Artinya, upaya-upaya menemukan padi PRG unggul yang tahan cekaman biotik dan abiotik tetap berlangsung. Hanya saja, kapan varietas padi itu akan sampai ke tangan petani, belum ada kepastian waktunya.
Petani menunggu padi unggul, khususnya anti-pupuk dan anti-pestisida, karena dua alasan. Pertama, menekan biaya produksi karena komponen biaya pupuk dan pestisida sabgat besar. Kedua, meningkatkan produktivitas dan, karena itu, pendapatan.
Prioritas Riset Strategis
Perkembangan biotek, khususnya biologi molekuler, sebagaimana dibabar rekan Ronny M. Noor dalam artikelnya, saya pikir memberikan harapan baru percepatan penemuan varietas padi unggul anti-pupuk, anti-pestisida, dan hemat air. Â
Teknik pengeditan gen mestinya lebih "sederhana" dibanding penyelipan gen (PRG). Dengan begitu proses riset inovasi bisa berlangsung lebih cepat.Â
Memang masih ada perdebatan apakah produk pengeditan gen tergolong PRG atau Non-PRG. Tapi kontroversi mestinya tidak akan terlalu tajam. Itu mengingat dalam teknologi edit gen tidak ada penyelipan gen tumbuhan lain pada tanaman padi. Karena itu syarat aman manusia, aman ternak, dan aman lingkungan mungkin lebih mudah didapatkan.
Padi unggul hasil teknologi edit gen bisa menjadi pilar ketahanan pangan Indonesia di masa depan. Bayangkan bila teknologi itu membuahkan padi hemat air, adaptif di lahan marginal (kering, gambut, pasang-surut), tak perlu pupuk, dan tak perlu pestisida. Niscaya untuk mencapai tingkat ketahanan pangan, atau bahkan surplus pangan, tak perlu mencetak sejuta hektar sawah di luar Jawa. Â
Varietas padi seperti itu, jika berhasil ditemukan, bisa langsung ditanam secara ektensif di jutaan hektar lahan kering di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Jika itu terwujud, maka jargon Indonesia Feed the World akan menjadi kenyataan.
Dari keterangan rekan Ronny R. Noor, saya mendapat informasi bahwa para peneliti pertanian di Bogor (IPB dan Balitbangtan) kini sedang fokus pada riset edit gen padi, guna menemukan varietas unggul yang diperlukan untuk mendukung pencapaian target ketahanan pangan nasional. Â
Saya pikir riset tersebut perlu mendapat dukungan kebijakan dan dana dari pemerintah. Saya usul agar riset edit gen padi, dan tanaman pangan lainnya (jagung, kedelai), ditetapkan menjadi Prioritas Riset Strategis Nasional.Â
Menurut pandangan saya pribadi, sebagai petani penangkar benih, menemukan satu varietas padi hemat air, adaptif lahan marginal, anti-pupuk, dan anti-pestisida jauh lebih besar dampak strategisnya terhadap pencapaian ketahanan pangan nasional, ketimbang membangun kebun pangan (food estate) skala raksasa di Luar-Jawa sana. Â
Biaya riset edit gen padi sangatlah kecil dibanding biaya pembangunan kebun pangan. Lagi pula, kebun pangan yang luas tidak akan banyak manfaatnya, jika benih yang ditanam adalah benih padi inbrida biasa seperti sekarang ini.
Demikian, Poltak Center menulis dari Gang Sapi, Jakarta.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H