Suatu perkelahian, menurut pikiran Jonder, dapat menyelesaikan soal itu. Dia bernafsu membuat gigi Poltak goyah. Sekurangnya, hidungnya berdarah. Begitu baru impas.
"Sudah, kau terima saja tantangannya." Binsar mendorong Poltak.
"Bah, tak usahlah. Tak guna berkelahi." Poltak masih teguh pada pendirian.Â
"Oi, Poltak! Ayam betinalah kau!" Jonder melontarkan hinaan terakhir.
Ya, hinaan terakhir karena, sekejap kemudian, darah Poltak sudah muncrat ke ubun-ubun. Dia tak bisa terima dihina sebagai ayam betina.Â
Bagi Poltak, ini sudah masalah harga diri. Berkelahi memang sakit. Tapi harus dijalani demi harga diri. Begitu pikiran Poltak.
"Ke Peabolak! Kita berkelahi di sana!"Â
Poltak menerima tantangan Jonder. Tegas. Tak ada tanda dia berdarah ayam. Jonder kaget. Tak menyangka Poltak berani menerima tantangannya.
Dalam perjalanan ke Peabolak, Poltak berpikir keras. Strategi berkelahi macam apa yang harus dijalankannya. Â
Secara fisik, tubuh Poltak  lebih kecil, pendek dan sedikit berisi, dibanding Jonder. Untuk memenangi perkelahian, Poltak harus menggunakan strategi yang cerdik.
"Kalau lawanmu lebih besar, kau harus jaga jarak." Demikian amangudanya, Parandum, pernah melatihnya beladiri. Â "Usahakan menghindar ke samping. Kalau ada kesempatan, langsung sepak pelirnya. Atau perutnya."