Poltak benci perkelahian. Sebab itu menyakitkan. Bisa bikin gigi goyah. Atau hidung berdarah. Sekurangnya pipi atau mata lebam. Â Apa gunanya semua itu.
Lain soal bila pertandingan. Ada aturan main. Ada juri. Dengan begitu, risiko cidera bisa ditekan. Itu yang  Poltak mau.
Tapi anak-anak SD Hutabolon, laki-laki, umumnya lebih suka perkelahian. Bukan pertandingan. Berkelahi itu laki, bertanding itu perempuan. Itu anggapan mereka.
"Dasar darahmu darah ayam." Jonder melecehkan Poltak. Hanya karena Poltak menolak tantangannya berkelahi.
"Berdarah ayam" berarti pengecut, penakut. Itu penghinaan terbesar. Tak ada anak laki Batak yang sudi dicap begitu.Â
Tapi Poltak menulikan telinga. "Tak ada gunanya berkelahi," bathinnya, sambil melangkah keluar komplek sekolah bersama Binsar dan Bistok. Â Mereka baru saja bubar sekolah.Â
Jonder dan temannya, Adian dan Jojor, mengekor di belakang mereka. Tiga anak itu sekampung di Sorpea, kampung yang terletak antara Hutabolon dan Panatapan.
"Poltak berdarah ayam! Berdarah ayam! Ayam!" Jonder dan kedua temannya berteriak-teriak mengejek dari belakang.
"Jangan berkelahilah. Tanding." Bistok menawar.
"Bah, Poltak perempuan, ya. Cantik kali!" Jonder semakin menjadi-jadi.
Jonder rupanya masih menyimpan rasa marah pada Poltak. Karena dulu, saat pelajaran Agama dari Guru Gayus, merasa dipersamakan Poltak dengan ular pembohong. Poltak sudah melupakan soal itu. Tapi Jonder masih menyimpannya dalam hati.