Menjadi penulis itu pilihan profesi. Kalau sudah memilih, berarti mau. Kalau sudah mau maka tak ada alasan malu. Harus siap menanggung risiko atas pilihan. Seburuk apa pun itu.
Karena itu, kalau malu, jangan pernah mau jadi penulis. Tak seorang pun bisa mencapai hasil terbaik, jika melakukan hal yang memalukan. Seban semakin besar hasilnya, Â semakin besar puka kemaluannya.
Menjadi penulis, bila itu pilihan profesi, berarti menulis penuh waktu, menjadi pekerjaan utama. Contohnya, Daeng Khrisna Pabichara. Â Profesi atau pekerjaan utamanya penulis. Sampingannya pembicara, trainer, motivator, dan mentor.
Bukan penulis jika tidak penuh waktu. Misalnya dosen, menulis banyak buku non-fiksi di bidang keilmuannya. Dia bukan penulis tapi dosen. Itu pekerjaan utamanya. Dia menulis karena tuntutan profesinya: publish or perish. Â
Pelaku profesi lain juga bisa begitu. Saya misalnya, seorang petani. Itu profesi atau pekerjaan utamaku. Benar, saya menulis artikel di koran, jurnal ilmiah, buku, dan blog Kompasiana. Saya juga menyunting beberapa judul buku. Tapi itu semua tak membuat saya berhak menyatakan diri penulis. Mata pencaharian utamaku adalah petani.
Ada kalanya, mungkin jamak juga, penghasilan dari pekerjaan sampingan lebih besar dari pekerjaan utama. Istilah premannya: sabetannya gede. Saya pikir, Daeng Khrisna mengalami itu juga. Saya juga pernah mengalaminya. Â Tapi hal itu tidak lantas menjadikan pekerjaan sampingan berubah menjadi pekerjaan utama.
Gejala semacam itu disebut gejala nafkah ganda. Pekerjaan utama ditambah dengan dua atau tiga pekerjaan sampingan. Sebuah strategi menyiasati ekonomi dapur. Â Sangat lazim dilakukan oleh pelaku sebuah profesi yang belum cukup diapresiasi dalam masyarakatnya.
Untuk konteks masyarakat Indonesia, penulis termasuk dalam bilangan itu. Pofesi penulis di sini belum cukup diapresiasi oleh negara, pengusaha, dan masyarakat awam. Daeng Khrisna sudah bersaksi: penghasilan senin-kemis, sehingga tak layak menjadi menantu.Â
Itu sebabnya kalau seseorang memutuskan mau menjadi penulis maka dia harus tahan malu. Tepatnya tak boleh malu menghadapi apresiasi rendah terhadap profesinya. Khususnya apresiasi ekonomi yang tak memadai untuk mengepulkan asap dapur.
Seorang penulis di Indonesia adalah seorang pemberani yang banyak akal. Dia harus kreatif mengembangkan pola nafkah ganda. Bukan hanya untuk mencukupi biaya ekonomi keluarga. Tapi juga, dari pekerjaan sampingan itu, didapat modal untuk membiayai pekerjaan utama sebagai penulis.
Memang, ironis, seorang penulis cemerlang di Indonesia harus menjadi seperti pedagang asongan. Menjual segala macam benda, mulai dari peniti sampai obat flu. Padahal mata dagangan utamanya adalah rokok. Â Itu strategi bertahan: kalau rokok tak laku, mungkin ada yang beli peniti, permen, atau obat sakit kepala.